Tafsir Al-Nahl 125: Penjual Madu dan Jamaah Tabligh

Tafsir Al-Nahl 125: Penjual Madu dan Jamaah Tabligh Ilustrasi

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

Ud’u ilaa sabiili rabbika bialhikmati waalmaw’izhati alhasanati wajaadilhum biallatii hiya ahsanu inna rabbaka huwa a’lamu biman dhalla ‘an sabiilihi wahuwa a’lamu bialmuhtadiina (125).

Tiga cara dakwah yang ditawarkan ayat kaji kita ini (125), yakni : hikmah, mau'idhah dan jidal sungguh memberi keleluasaan kita memilih. Sebagai juru bicara Tuhan, da'i bagai sales yang menawarkan dagangan kepada pasar dunia, di samping mesti cerdas, juga dituntut memiliki mental tangguh dan integritas tinggi.

Ikhwan yang rajin jenggotan, berjubah dan bersorban biasa melakukan khuruj, keluar rumah untuk berdakwah sering mendapat cemooh dan cacimaki dari sesama muslim sendiri. Mereka dicemooh sebagai sering menelantarkan keluarga, membuat pandangan masjid yang disinggahi kotor, tidak sedap dan lain-lain.

Mereka berkelompok, tapi bukan organisasi. Tidak ada nama resmi yang dirpoklamirkan oleh diri mereka. Tidak ada struktur kepemimpinan, tapi punya panutan dan sadar senioritas. Masing-masing mengerti dirinya sendiri, tanpa ada gesekan, karena tidak ada kepentingan duniawi yang diperebutkan. Hanya saja masyarakat ada menjuluki mereka sebagai: jama'ah tabligh, Ursah, Jaulah dll.

Dalam sebuah seminar, juru bicaranya bertutur begini: “… umumnya para da'i kita ini melakukan dakwah yang enak-enak saja, yang sudah mapan, yang sudah ditata oleh panitia dan tinggal berbicara. Dakwah model itu ringan dan nyaris tidak pernah menghadapi risiko. Itu dakwah bagus, karena kondisinya demikian, ngomongi orang banyak yang sudah siap mendengar. Semoga bermanfaat.”

“Sementara yang kami lakukan adalah terjun langsung menemui obyek dakwah, mendatangi rumah ke rumah, di mana mereka belum tentu siap mendengarkan. Dalam khuruj ke desa dan daerah-daerah, tujuan kami cuma satu dan hanya satu, yakni mengajak orang islam masuk masjid, shalat berjamaah di masjid, titik. Ya, kayak makelar mencari penumpang. “

“Setelah berada di dalam masjid, terserah imamnya, terserah kiai setempat. Mau qunut atau tidak, mau wiridan atau diam sendiri-sendiri, baca basmalah atau langsung hamdalah dan lain-lain itu bukan wewenang kami. “

Juru bicara itu, selanjutnya menyampaikan berbagai tanggapan masyarakat yang dikunjungi. Ada yang ramah dan berterima kasih, ada yang biasa saja seperti layaknya menerima tamu, ada yang dingin dan nampak tidak suka, ada yang tidak berkenan, ada yang mencemooh dan ada yang kasar mengusir. Pernah ada yang meludahi yang mencibir.

Semua itu sudah kami antisipasi dan kami sudah sangat siap, siap sekali, hingga, andai terpaksa dibunuh pun kami siap. Kami punya cara sendiri untuk menghadapi itu semua. Apapun perlakuan buruk yang kami terima, sama sekali tidak mempengaruhi semangat dakwah. Para nabi justru lebih sakit dari itu.

Soal mental, kadang kami belajar dari penjual madu. Hanya menawarkan madu, untungnya berapa sih?, tidak pandang siapa yang dihadapi. Pokoknya ada peluang, maka masuklah dia dan menawarkan. Ada sekolahan, kantor, bahkan barak militer-pun dia masuki. Sekali lagi, hanya sekadar menawarkan madu.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO