Tafsir An-Nahl 101-102: Damainya Aksi 411, Karena Akhlaq Karimah, Bukan Peran NU-Muhammadiyah

Tafsir An-Nahl 101-102: Damainya Aksi 411, Karena Akhlaq Karimah, Bukan Peran NU-Muhammadiyah

Muslim sangat berkarakter dan sangat berprinsip. Allah, al-Qur'an, Rasulullah adalah harga mati meski - andai - diusir dari NKRI. Apa artinya hidup di dalam NKRI jika keagamaan, keimanan, ketaqwaan ternistakan. Kebajikan beragama, bertaqwa dijamin Tuhan dengan surga-Nya nanti. Sementara tidak ada yang bisa menjamin, negeri ini akan tetap utuh seperti wilayah sekarang. Timor Timor adalah buktinya. Sebagai umat islam, sungguh merasa wajib membela NKRI atas dasar agama.

Kami adalah anak manusia yang dilahirkan dari rahim negeri ini. Kami makan dari hasil bumi negeri ini. Kami minum air dari tanah air ini. Negeri ini adalah sajadah yang terbentang untuk kami bersujud. Maka kami siap mempersembahkan jiwa dan raga demi bisa bersujud di negeri ini. Lain lagi jika sujud kami diganggu. Kucing saja bergerak reflek dan mencakar kala ekornya terinjak.

Imam al-Syafi'ie, ketika al-qur'an direndahkan dan agama dinistakan berucap tajam dan pedas sekali. Ucapan kasar yang mengkritik umat islam yang tidak islami, yang budeg dan tidak berbuat apa-apa. Katanya: "Man ustughdhib wa lam yaghdlab fawuh himar". Barang siapa yang seharusnya marah - karena agama -, kok tidak marah, maka sejatinya dia itu keledai.

Terlalu berlebihan bila presiden atau siapa saja yang mendorong-dorong aksi 411 sebagai pemecah belah kesatuan dan persatuan, mengancam NKRI. Mikirlah yang proporsional, bernalarlah secara benar. Demo itu sebatas menuntut keadilan atas agama yang dinista. Dan, nyatanya kalau tidak didemo macam itu, pemerintah ya "budeg-budeg" saja. Demonstran itu tidak punya senjata kuat, tidak ada wilayah yang mau disempal keluar NKRI, jangankan dana, nasi bungkusan saja sedekah rakyat yang peduli.

Nasib umat islam yang islamnya sungguhan selalu dicap sebagai radikal, menodai demokrasi, memecahbelah persatuan, mengancam NKRI dll. Dan sikap nervous dan berlebihan itu nampak pada sikap Jokowi. Aktif safari militer pada saat beginian. Silakan alasan apapun, tapi rakyat juga berhak punya pembacaan lain. Yang jelas, sudah tidak zamannya lagi, rakyat ditakut-takuti dengan bedil.

Lihat, sebelum aksi 411, Jokowi merangkul tokoh NU dan Muhammadiyah untuk bareng menghadapi. Sementara dia sendiri lari menjauh. Apa pantas presiden bersikap begini? Anak kecil saja tidak ada yang lari dari tanggung jawab, kalau dia jadi terhukum saat main petak umpet, sportif dan melaksanakan tugas. Bukankah sikap itu berpotensi mengadu domba antar umat islam?.

Beda sekali, ketika ada tragedi pembakaran masjid di Papua. Penggede mereka diterima di istana dan makan-makan. Dengan enteng dinyatakan, bahwa masjid itu "terbakar". Umat islam itu santun, lalu diam dan menerima. Kembali ke sikap presiden, bukankah sikap macam ini menyakitkan perasan sebagian umat islam? Bukankah itu sikap pilih kasih? Bapak yang baik adalah bapak yang bisa merangkul anak-anaknya meski senakal apapun.

Ketika aksi 411 selesai, Jokowi mendatangi kantor NU dan Muhammadiyah untuk memberikan apresiasi dan mengucapkan terima kasih atas jasa mereka dalam mendamaikan umat demo. Lalu tokoh-tokoh itu manthuk-manthuk bangga. Tolong dipikir, tolong disadari, tolong dirasa, tolong bersikap jujur: apa benar mereka terjun ke lapangan mendamaikan demonstran, sehingga demo berjalan damai?

Oke, katakan saja mereka berperan. Tapi bagi penulis, damainya aksi 411 kemarin sungguh lebih karena kesantunan, karena didikan para korlapnya yang amanah dan tingginya al-akhlaq al-karimah mereka, bukan karena peran tokoh NU dan Muhammadiyah.                      

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO