Tafsir Al-Quran Aktual: Benarkah Idul Fitri Bermakna kembali ke Fitrah?

Tafsir Al-Quran Aktual: Benarkah Idul Fitri Bermakna kembali ke Fitrah?

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

BANGSAONLINE.com - Sudah menjadi tradisi umat islam melakukan perayaan hari Raya Idul Fitri setelah sebulan penuh manjalankan ibadah puasa Ramadhan. Pada tanggal satu syawal itu puasa berakhir dan pagi hari kita menjalankan shalat idul fitri secara berjamaah, boleh di masjid, boleh di hall, di jalan raya maupun di lapangan terbuka. Soal tempat bukanlah masalah karena teknik belaka. Kadang di antara kita terlalu alay dan cengeng, sehingga harus serba berdalil al-Hadis. Lalu mengutuk orang lain yang tidak sepafam dengannya.

Dua kali Nabi shalat id di masjid dan selebihnya di shahra', tempat terbuka atau tanah lapang. Sekarang, penduduk asli Madinah yang mewarisi sunnah Nabi secara turun-temurun saja tidak ada yang shalat di lapangan, semuanya di masjid, utamanya masjid Nabawi. Perkara jamaahnya meluber hingga ke jalan-jalan, itu soal ekses dan imbas. Yang penting sentral ibadah ada di kendalikan di dalam masjid.

Moment Idul Fitri tahun ini, 1437 H. benar-benar membuat dunia tercengang karena di negara-negara Barat yang notabenenya non muslim ternyata pada jamaah shalat idul fitri membludak di luar dugaan. Di Jerman, Korea, Tiongkok, Belgia, Amerika bahkan di New York shalat idul fitri harus di shift beberapa kali dalam satu tempat. Hal itu karena pertumbuhan umat islam di sana sangat pesat sementara masjid tidak mampu menampung jamaah yang datang serempak dan bersamaan.

Dalam islam ada dua Id (hari raya), yakni: Idul Fitri dan Idul Adha. Umumnya ilmuwan negeri ini memaknai kata "id" dengan "kembali" dan kata "Fitri" berarti "fitrah, kesucian, asal kejadian", sehingga idul fitri bermaknakan kembali ke kondisi fitrah, bersih tanpa noda dan dosa seperti bayi yang baru dilahirkan. Benarkah pemaknaan macam itu?.

Jika "id" diartikan kembali, lalu idul adha artinya apa?. Harusnya : "kembali ke sembelihan", karena Adha artinya sembelih, identik dengan kata nahr, menyembelih hewan. Selanjutnya kerancuan terjadi, di mana para penceramah serius sekali dan bisa berpanjanglebar memaknai idul fitri sebagai kembali ke fitrah, tapi makna tiba-tiba hilang dan tidak dipakai "sama sekali" ketika mereka membicarakan idul adha. Ya, karena mereka tidak menemukan korelasi yang pas seperti pamaknaan pada idul fitri. Berikut ini ulasannya:

Pertama, "id" adalah kata jamid, sebuah nama yang tidak berasal dari kata musytaq manapun, artinya "Hari Raya". Hari besar yang punya arti momunental, bersejarah, berkebesaran dan perlu dirayakan sebagai kebanggaan dan kemenangan. Misalnya, hari kemerdekaan, hari perhikahan dan lain-lain. Kata "Id" bermakna hari raya, perayaan ini ditera dalam al-Qur'an, "Takun lana ida li awwalina wa akhrina" (al-Maidah:114).

Ayat ini membicarakan kebawelan Bani Israil yang mendesak nabi Isa A.S. agar meminta kepada Tuhan seperangkat makanan lezat (maidah) yang turun langsung dari langit. Nabi Isa A.S. menuruti dengan alasan "bahwa maidah itu akan dijadikan pesta hari raya". Jelas sekali, pada ayat ini kata "Id " ada korelasinya dengan kata "maidah", yaitu pesta makan besar di hari raya.

Sedangkan kata "fithr" (fitri) berarti makan pagi atau sarapan. Semua yang serumpun dengan fi'il madli "fa tha ra" berarti tindakan awal, yang pertama atau kondisi alami. Kata "fathara al-sha'im", artinya orang yang puasa itu telah berbuka. Disebut "fathar" karena pertama kali makan setelah seharian tidak makan. Boleh dipakai wazan "af'ala", jadinya: "afthara al-sha'im", si pelaku puasa itu membatalkan diri dengan makan. Jika obyeknya adalah "sha'im", seperti Hadis "man afthara sha'ima", artinya "memberi makan buka puasa kepada orang yang berpuasa".

Dengan demikian, sesungguhnya arti "idul fitri " itu lebih berorientasi pada persoalan pesta sarapan atau hari raya makan pagi, di mana hari tersebut perlu dirayakan setelah satu bulan penuh tidak makan pagi.

Kedua, kata "id" adalah musytaq, berbentuk masdar dan berumpun dengan kata " 'ada - ya'ud", artinya kembali atau berulang. Dalam disiplin ilmu sharaf, kata "'ada" adalah berbina' ajwaf wawy, yang mana bentuk mudhara'ahnya harus berbunyi "ya'udu" dengan konsekuensi masdar " 'awd " (bukan: id). Bisanya menjadi "id" setelah upaya rekayasa huruf. Asalnya " 'iwd", kemudian huruf "waw" yang jatuh setelah harakat karsah disesuaikan dan diganti "ya". Jadinya, "id". Kini, kata "id" berarti kembali dan berulang. Ya, karena hari itu kembali berulang setiap tahun.

Jika makna ini digandeng dengan kata "fitri" yang artinya makan pagi atau sarapan, maka maknanya adalah hari makan pagi kembali, di mana sebulan yang lalu tidak diperbolehkan. Itulah, maka hari itu diharamkan berpuasa, karena Tuhan menyediakan pesta besar. Hari itu Tuhan menyambut hamba-hambaNya yang telah mematuhi perintah-Nya dengan mengadakan pesta makan pagi yang selanjutnya disebut "yaum al-dhiyafah" atau Hari suguh tamu. Berpuasa pada Hari idul Fitri ibarat tamu yang tidak mau mencicipi hidangan tuan rumah yang sudah disuguhkan dan sudah dipersilakan. Itu tamu sombong dan pongah, lebih-lebih tuan rumahnya adalah Allah SWT.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO