Ketua Komunitas Sidoarjo Masa Kuno, Sudi Harjanto.
SIDOARJO, BANGSAONLINE.com - Di balik sejarah panjang Kota Delta, tersimpan kisah menarik tentang keberadaan para pemimpin komunitas Tionghoa pada masa kolonial Belanda.
Meski bukan pejabat militer, mereka memegang peranan penting dalam urusan sosial, ekonomi, dan administrasi etnis Tionghoa di kota delta ini.
Pada masa pasca-VOC, pemerintah Hindia Belanda menerapkan sistem pengendalian sosial dengan menunjuk tokoh-tokoh Tionghoa yang dianggap berpengaruh dan kaya. Mereka diberi pangkat resmi sebagai simbol jabatan sosial dan administratif.
“Pangkat itu dikenal dengan istilah Leutnant der Chinezen, Kapiten der Chinezen, hingga Majoor der Chinezen. Jabatan tersebut setara dengan kepala komunitas Tionghoa di satu wilayah,” kata pegiat sejarah Sudi Harjanto, Ketua Komunitas Sidoarjo Masa Kuno.
Menurut dia, pangkat yang diberikan berbeda di tiap daerah, bergantung pada luas wilayah dan tanggung jawabnya.
“Misalnya di Gresik, pemimpinnya berpangkat kapten karena lingkupnya besar dan banyak aktivitas perdagangan. Sedangkan di Sidoarjo, yang ditunjuk hanya berpangkat letnan, karena skalanya lebih kecil,” tuturnya.
Dalam catatan sejarah, tercatat beberapa tokoh Tionghoa yang pernah menjabat sebagai Luitenant der Chinezen di Sidoarjo, antara lain:
- Kwee Soei Toan (dilantik 10 Januari 1866)
- The Tjing Liang (10 Oktober 1876)
- Lo Bing Kie (30 Mei 1891)
- The Sioe Sing (28 November 1912)
- Lim Tjing Hay (20 Agustus 1926)
Para letnan ini bertugas membantu pemerintah kolonial dalam administrasi warga Tionghoa, seperti pendataan, pajak, dan mediasi hukum adat. Mereka juga menjadi penghubung antara komunitas Tionghoa dan pejabat Eropa di tingkat Resident Surabaya, yang saat itu membawahi wilayah Sidoarjo.
Namun, sekitar tahun 1930-an hingga awal 1940-an, jabatan Luitenant der Chinezen di Sidoarjo tidak lagi diangkat.
“Belum ada catatan pasti, tapi kemungkinan karena struktur pemerintahan kolonial mulai berubah menjelang masa pendudukan Jepang. Sistem kepemimpinan lokal banyak dihapus,” ucap Sudi.
Kini, nama-nama para letnan Tionghoa tersebut hanya tercatat dalam arsip kolonial dan naskah tua. Meski begitu, jejak mereka masih bisa dikenali melalui peninggalan budaya, permukiman lama, serta kisah tutur masyarakat keturunan Tionghoa di Sidoarjo yang terus menjaga ingatan sejarah leluhur mereka. (cat/mar)








