
SIDOARJO, BANGSAONLINE.com - Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo (GPKLL) menggelar kenduren sebagai bentuk peringatan 19 tahun tragedi semburan lumpur panas Lapindo yang hingga kini belum terselesaikan.
Dalam suasana doa dan harapan, kritik terhadap negara kembali mengemuka akibat ketidakjelasan pembayaran ganti rugi bagi para pelaku usaha terdampak.
Kuasa hukum GPKLL, Mursyid Mudiantoro, menegaskan bahwa kenduren ini menjadi simbol keprihatinan terhadap “kebuntuan negara” dalam menyelesaikan persoalan hukum dan keadilan bagi para pengusaha korban lumpur.
"Peristiwa lumpur yang sudah berusia 19 tahun itu secara nyata belum menyelesaikan pokok masalahnya, yaitu terkait ganti rugi atas tanah milik para pelaku usaha," ujarnya saat ditemui, Sabtu (31/5/2025).
Ia menjelaskan, korban lumpur Lapindo terbagi dalam dua kategori, yaitu korban dalam Peta Area Terdampak (PAT) dan luar PAT, serta terdiri dari dua unsur, yakni rumah tangga dan pelaku usaha.
Menurut dia, ganti rugi bagi korban di luar PAT telah dibayarkan melalui APBN, namun korban di dalam PAT, terutama para pelaku usaha, masih belum mendapatkan kepastian.
"Jumlah pelaku usaha ini sebanyak 31 PT/CV dengan total luas tanah yang belum diganti lebih kurang 85 hektare. Tanggul-tanggul yang berdiri hari ini sebagian besar berdiri di atas lahan mereka yang belum dibayar," paparnya.
Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 83/PUU-XI/2013 telah memerintahkan negara untuk hadir dan menjamin keadilan bagi seluruh korban, baik dari unsur rumah tangga maupun pelaku usaha di dalam PAT. Namun, eksekusi putusan ini dinilai belum berjalan optimal.
"Negara hanya memberikan kepastian ganti rugi terhadap korban dari unsur rumah tangga sebesar Rp781 miliar lewat APBN 2015, sedangkan korban dari unsur pelaku usaha dibiarkan merana sampai saat ini," kata Mursyid.
Atas nama 31 pengusaha terdampak, GPKLL mendesak Presiden Prabowo untuk segera turun tangan mengevaluasi kebijakan penanganan kasus Lapindo. Menurut Mursyid, ketegasan pemerintah sangat diperlukan guna menyelesaikan persoalan yang telah berlarut hampir dua dekade.
"Kami meminta dan memohon kepada Bapak Presiden Prabowo untuk segera mengevaluasi policy negara atas penyelesaian lumpur Lapindo. Ini sudah 19 tahun tapi tetap belum tuntas," ucap Mursyid.
Dengan luas lahan 85 hektare yang belum diganti rugi dan potensi kerugian mencapai Rp800 miliar, GPKLL menilai negara belum sepenuhnya menjalankan amanat konstitusi dalam menjamin hak-hak warganya.
"Karena ini soal keadilan. Kami berharap tidak ada lagi diskriminasi antara korban rumah tangga dan pelaku usaha," pungkasnya. (rom)