
SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Dalam momentum Hari Narkotika Internasional tahun 2025 ini, Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) meminta kepada pejabat berwenang untuk segera mengedepankan pendekatan kesehatan dalam proses penyusunan kebijakan narkotika, termasuk revisi UU Narkotika yang sedang bergulir di DPR RI.
Selama ini, para penegak hukum dalam menangani kasus pengguna narkoba jarang sekali menggunakan pendekatan kesehatan melalui Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Yang berlaku saat ini masih menempatkan pengguna narkotika sebagai pelaku kriminal.
"Itu ditandai dari masih gencarnya pendekatan penjara yang digunakan negara kepada pengguna narkotika," kata pemilik rumah rehabilitasi, Orbit Rudy, Kamis (26/6/2025).
Dampaknya, lanjut Rudy, dari kutipan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) per Desember 2024, total penghuni rutan/lapas sebanyak 264.131 orang, sementara kapasitasnya hanya berkisar untuk 136.444 orang. Ini artinya ada overcrowding sebesar 93,57%.
Sementara per Juni 2025, terdapat 268.718 orang menjadi penghuni Rutan/Lapas, padahal kapasitasnya hanya untuk 138.128 orang. Hal tersebut menunjukkan adanya overcrowding rutan/lapas sebesar 94,56%.
"Nah, dari sekian banyaknya warga binaan pemasyarakatan hampir 52% penghuni rutan/lapas merupakan tahanan kasus narkotika," jelasnya.
Lebih lanjut, hal tersebut menandakan bahwa pengguna narkotika tidak diintervensi berbasis pendekatan kesehatan, melainkan dikriminalisasi melalui penghukuman.
Padahal paradigma penghukuman dapat memperburuk kondisi mereka. Mereka tidak mendapatkan dukungan yang dibutuhkan, mengikuti rehabilitasi secara sukarela, bahkan kehilangan harapan terkait kehidupan yang lebih baik.
"Kriminalisasi adalah kebijakan yang gagal, dan sudah saatnya dihentikan," pungkasnya. (ald/msn)