Oleh: Khariri Makmun
Munculnya Pansus PKB yang dibentuk oleh PBNU dengan tujuan untuk mengembalikan PKB ke pangkuan PBNU telah memicu kontroversi baru dalam hubungan antara Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
BACA JUGA:
- Soal MLB NU, Cucu Syaikhona Kholil Bangkalan: Jangan-jangan Mereka Gak Bisa Ngaji
- Ba'alawi dan Habib Luthfi Jangan Dijadikan Pengurus NU, Ini Alasan Prof Kiai Imam Ghazali
- Di Konferwil XVI Fatayat NU Jatim, Khofifah: Jadilah Enabler Leader dan Game Changer
- Berikut Pesan Khofifah untuk Kaum Ibu saat Hadiri Harlah Muslimat NU ke-78 di Tulungagung
Langkah ini menyoroti ketegangan yang terus berlanjut antara kedua entitas, yang meskipun memiliki akar yang sama, sering kali terlibat dalam konflik kepentingan. Pembentukan Pansus ini dipandang oleh banyak pihak sebagai upaya PBNU untuk mengendalikan PKB, menciptakan ketidakstabilan dan ketidakpastian dalam hubungan mereka.
Hubungan antara NU dan PKB memang tidak pernah benar-benar stabil. Sejak awal berdirinya PKB pada tahun 1998, tumpang tindih fungsi antara organisasi keagamaan dan partai politik ini sering terjadi.
Meskipun pernah ada kesepakatan antara Gus Dur dan KH Hasyim Muzadi untuk memisahkan urusan NU dan PKB secara struktural, kenyataannya intervensi dan friksi antara keduanya tetap berlanjut.
Pansus PKB menjadi contoh terbaru dari tumpang tindih PBNU - PKB untuk menjaga batas-batas fungsi masing-masing, yang berpotensi mengganggu stabilitas organisasi dan kepercayaan masyarakat terhadap keduanya.
Pada tahun 1998, Indonesia berada di tengah gelombang reformasi yang mengubah lanskap politik secara drastis. Di tengah situasi ini, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) lahir sebagai partai politik yang digagas oleh tokoh-tokoh besar NU.
Dua sosok kunci dalam pendirian PKB adalah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH Hasyim Muzadi. Keduanya memiliki visi yang jelas tentang bagaimana NU dan PKB harus berfungsi dan berinteraksi, tanpa saling tumpang tindih.
Pada 23 Juli 1998, PKB dideklarasikan di Ciganjur. Gus Dur dan Kiai Hasyim membuat kesepakatan tak tertulis yang sangat penting.
Gus Dur menyatakan bahwa NU harus mengatur civil society dengan nilai-nilai sosial dan akhlak, sementara PKB akan bergerak di bidang kekuasaan praktis yang penuh liku-liku. Kedua entitas ini tidak boleh dicampuradukkan secara struktural, meski hubungan aspiratif dan strategis harus tetap terjalin.
Kiai Hasyim mengingat kembali pesan Gus Dur dengan jelas, "Pak Hasyim, Anda yang mengatur NU, saya akan memimpin PKB. NU mengatur civil society dengan tata nilai atau akhlak sosial, sedangkan PKB bergerak di bidang kekuasaan praktis. Keduanya jangan dicampuraduk secara struktural kepengurusan, tapi hubungan aspiratif strategis harus ada."
Tantangan dan Dinamika Politik
Dalam perjalanannya, NU dan PKB menghadapi berbagai tantangan dan dinamika politik yang kompleks. Kesepakatan awal yang ideal sering kali diuji oleh kepentingan pragmatis dan intrik politik internal.
Di era politik kontemporer, NU sering terseret dalam arus politik yang tidak dewasa, memunculkan friksi di antara warga NU sendiri. Hal ini membuat warga Nahdliyin kebingungan tentang patronase yang harus mereka ikuti, terutama ketika kiai dan ulama NU tidak mampu membedakan antara kepentingan NU dan kepentingan partai.
Menjaga agar NU dan PKB tidak saling tumpang tindih adalah tugas berat namun krusial. Platform hubungan strategis dan komitmen untuk tidak saling intervensi antara NU dan PKB yang diatur oleh Gus Dur menjadi sangat ideal dan relevan. Sayangnya, jika langkah-langkah pragmatis terus mendominasi, perjuangan mulia NU bisa tergeser oleh kepentingan politik jangka pendek.
Perlu diingat bahwa perjuangan NU jauh lebih besar daripada sekadar politik pragmatis. Sejak berdirinya, NU telah berperan sebagai penyeimbang antara negara dan agama, merangkai persatuan keduanya.