
JAKARTA, BANGSAONLINE.com – Jumlah dokter spesialis di Indonesia masih jauh dari harapan. Salah satu penyebabnya karena Fakultas Kedokteran (FK) dianggap kurang produktif. Apalagi jumlah FK juga tak banyak. Lalu apa langkah Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin?
Tapi benarkah dokter spesialis didominasi darah biru dan orang kaya karena biayanya mahal?
BACA JUGA:
- Menkes Minta Tenaga Kesehatan di Papua Pegunungan dan Papua Tengah Dapat Perlindungan
- Dahlan Iskan Ngaku Bangga Sekali terhadap HARIAN BANGSA, Ternyata Ini Alasannya
- Di Pantai Tempat Nabi Musa, Muhammad Bin Salman Bangun Pariwisata Terbesar di Timteng
- Kesulitan Cari Sengkuni, Laksamana Yudo Jadi Panglima Pandawa di Rumah Dahlan Iskan
Nah, simak tulisan wartawan yang juga kolumnis, Dahlan Iskan, di HARIAN BANGSA pagi ini, Rabu 7 Desember 2022. Atau di BANGSAONLINE.com di bawah ini:
PARA calon dokter spesialis ini berdialog langsung dengan menteri mereka: Budi Gunadi Sadikin. Selama dua jam lebih. Lewat zoom. Kemarin malam.
Yang dibicarakan begitu banyak: termasuk soal darah biru, insentif, dan siapa yang seharusnya melahirkan dokter.
Dokter Jagadhito, yang baru lulus spesialis jantung, tidak setuju dengan pernyataan Menkes bahwa hanya yang punya darah biru yang bisa ikut program spesialis.
"Ini bukan soal darah biru. Ini lebih karena menjadi spesialis itu biayanya mahal. Hanya yang punya uang yang bisa ikut spesialis," kata Jagadhito yang lulus dari FK Unair tapi mengambil spesialis jantung di UGM. Putra mantan rektor ITS ini menjadi residen di RSUP dr Sardjito Yogyakarta.
Ia menunjukkan foto temannya yang bertugas di pusat kesehatan Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Ibunya janda. Ia tidak berani menjadi spesialis. Itu karena ia masih harus membiayai adik-adiknya.
Menkes tidak menolak pendapat Jagadhito. Tapi ia juga mengemukakan pengalaman pribadinya. "Saya ini begitu banyak dimintai rekomendasi oleh mereka yang mau masuk spesialis," kata Budi Sadikin. "Mereka bilang, tanpa rekomendasi itu akan kalah dengan yang punya darah biru kedokteran," tambahnya.
Soal mahalnya biaya menjadi spesialis diceritakan Jagadhito. Sambil setengah protes. Ia seperti membawa aspirasi sesama residen –dokter yang magang di rumah sakit sebagai proses menjadi spesialis.
Dokter residen itu biasanya ditugaskan di malam hari. Sampai pagi. Selesai tugas belum bisa pulang. Harus membuat laporan: apa saja yang dilakukan sepanjang malam. Lalu membuat tesis. Setelah itu baru bisa istirahat.
Apalagi selama Covid-19. Ketika banyak dokter spesialis ''takut'' ke rumah sakit. Praktis dokter residen yang mau tidak mau menjadi ujung tombak.
Mereka tidak berani takut. Mereka ingin segera lulus menjadi spesialis.
Rumah sakit adalah bangku kuliah bagi para calon spesialis. Tidak perlu pergi ke universitas.
Sering dengan bangga mereka mengatakan ''jadi dokter residen itu lebih sibuk dari dokternya''. Mereka tidak seperti sedang kuliah. Mereka sudah seperti dokter tetap di rumah sakit.
Tapi, sebagai mahasiswa, mereka tetap harus membayar uang kuliah. Kalau ditotal, SPP-nya saja, bisa mencapai Rp 150 juta.
Maka inilah dokter yang tidak bisa cari uang karena kuliah, bekerja penuh sebagai dokter di rumah sakit, masih harus membayar pula.
Itu menjadi salah satu penyebab mengapa sulit mencetak spesialis. Akibatnya jumlah dokter spesialis sangat kurang.
Menkes tidak sependapat kalau persoalannya bukan jumlah melainkan penyebarannya. "Saya siap berdebat dengan siapa pun soal ini. Asal debat ilmiah. Pakai data," katanya. "Penyebarannya memang kurang bagus. Tapi jumlahnya juga sangat kurang," katanya.
Di forum itu lantas dibicarakan soal kemampuan universitas memproduksi spesialis. Jumlah fakultas kedokteran hanya 92. Yang punya spesialis hanya 20. Kemampuan tiap tahunnya sudah terbukti segitu. Bagaimana bisa mengejar kekurangan spesialis. "Sampai kita mati pun belum akan terkejar," kata Budi Sadikin. "Kita ini sudah 77 tahun merdeka. Mengapa belum juga bisa memenuhi amanat kemerdekaan," tambahnya.
Maka Menkes bertekad akan mengubah semua itu. Sudah terbukti: dengan cara sekarang ini tidak akan mampu mencetak spesialis yang cukup.
Maka sebentar lagi yang bertugas mencetak spesialis bukan lagi fakultas kedokteran. Tugas itu beralih ke rumah sakit.
Simak berita selengkapnya ...