Tafsir Al-Kahfi 69-70: In Sya’ Allah Shabira Dan In Sya’ Allah Min Al-Shabirin

Tafsir Al-Kahfi 69-70: In Sya’ Allah Shabira Dan In Sya’ Allah Min Al-Shabirin Ilustrasi.

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

69. Qaala satajidunii in syaa-a allaahu shaabiran walaa a’shii laka amraan

Dia (Musa) berkata, “Insya Allah akan engkau dapati aku orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam urusan apa pun.

70. Qaala fa-ini ittaba’tanii falaa tas-alnii ‘an syay-in hattaa uhditsa laka minhu dzikraan

Dia berkata, “Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku menerangkannya kepadamu.”

TAFSIR AKTUAL

Musa A.S. memohon agar Khidir A.S. berkenan mengajarinya “rusyda”, tapi Khidir tidak berkenan karena menurut ilmu penerawangannya, si Musa tidak bakal mampu. Musa ngotot dan berusaha meyakinkan sang guru, bahwa dirinya pasti bisa, in sya’ Allah dan tidak akan melanggar. “satajiduni in sya’ Allah shabira wa la a’shi lak amra”. Dan akhirnya sang guru pasrah.

Ya sudah. Tapi ada satu syarat yang harus dipatuhi oleh Musa dan ini sekaligus materi tes masuk yang menentukan, apakah Musa diterima atau ditolak. Ternyata bukan tes keilmuan, melainkan tes kesabaran. “fa la tas’alni ‘an syai hatta uhditsa lak minh dzikra”. Jangan bertanya, sebelum dijelaskan. Hanya dites agar diam saja. Apapun yang kamu lihat, apapun yang terjadi, pokoknya jangan ngomong apa-apa.

Kelihatannya ringan, tapi bisakah Musa A.S. yang terkenal keras dan temperamental diam saja dan tidak protes apa-apa ketika dia melihat hal janggal dan benar-benar biadab. Bisakah Musa yang rasul dan pembawa syari’ah diam saja melihat perbuatan keji, perbuatan munkar dan melanggar agama terjadi di depan mata? Inilah materi ujian untuk Musa.

Ya, kita sudah sama-sama tahu, bahwa setelah Musa diuji Khidir hingga tiga kali, ternyata tidak lulus. Musa A.S. tidak bisa menahan diri dan tetap buka mulut, lantas menegur gurunya dan berkata-kata kasar.

Selain karena sudah merupakan qadla’ dari Allah SWT, kegagalan Musa disinyalir, salah satunya karena sifat egonya, ananiyah-nya yang membanggakan diri sendiri dan menganggap enteng apa yang diajukan sang mahaguru.

Perhatikan kalimat yang diucapkan Musa, meskipun diawali dengan menyebut masyi’atillah, in sya’ Allah, tapi untuk dirinya dikatakan sebagai “shabir”, in sya’ Allah shabira. Berbentuk mufrad yang menunjuk diri pribadinya mampu bersabar, dirinya bisa lulus tes masuk. Terbacalah, bahwa diri pribadinya yang ditonjolkan sebagai mampu.

Bandingkan dengan ucapan nabi Ismail A.S. yang waktu itu baru sekitar umur 13 tahun. Ketika diberitahu sang ayah bahwa sang ayah, Ibrahim A.S. diperintah Tuhan agar menyembelih dirinya. Ibrahim meminta pendapat sang anak tentang pembantaian itu. Ismail muda menjawab dengan kalimat yang bermiripan dengan kalimat yang diucapkan Musa A.S., tapi implikasinya tidak sama: “satajiduni in sya’ Allah min al-shabirin”. In sya’ Allah saya termasuk bagian dari orang-orang yang bersabar.

Ucapan Ismail muda ini melambangkan betapa sopan dan tingginya rasa tawadlu’nya dan tidak menonjolkan diri, melainkan pengakuan mendalam terhadap banyaknya hamba Allah yang hebat dan bersabar. Dia sadar bahwa dirinya bukanlah satu-satunya, melainkan salah satunya. Dirinya hanya bagian kecil dari mereka. Lalu apa respon Tuhan terhadap dua terma ini?.

Ternyata, Musa yang “arogan” tidak berhasil, tidak lulus menempuh tes masuk hingga tiga kali. Sedangkan Ismail A.S., meski masih muda, meski nyawa menjadi taruhannya, tapi sukses dan gemilang. Ismail yang sudah dibaringkan dan siap disembelih oleh ayah kandungnya sendiri atas perintah Allah SWT, dalam hitungan per sekian detik diganti dengan kambing besar. Ismail selamat dan amanah qurban terselesaikan.

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO