Karena itu jangan heran, jika yang mereka caci bukan hanya aktor politik yang berseberangan tapi juga para tokoh agama yang selama ini dihormati oleh pengikutnya masing-masing.
Buzzer – dengan demikian – pada akhirnya bukan saja tidak efektif, tapi juga merusak kehormonisan sosial. Bahkan juga meruntuhkan sendi-sendi kehidupan yang paling hakiki, terutama kemanusiaan dan moralitas kehidupan yang selama ini menjadi barometer umat manusia semua bangsa dan negara.
Kini buzzer mengalami distrust luar biasa. Dan ketidakpercayaan itu terus berlangsung, bahkan semakin kuat. Sehingga para buzzer itu akan segera kehilangan pekerjaan.
Maklum, para sponsornya sendiri sudah tak percaya dan merasa tak diuntungkan. Bahkan sebaliknya para sponsor yang menyewa jasa mereka merasa dirugikan lantaran para buzzer itu membabi-buta, tanpa logika atau argumentasi logis, dalam menyerang lawan para sponsornya. Otomatis mereka blunder dan merugikan para pemakai jasa mereka.
Ya, itulah fakta sosial politik yang terjadi belakangan ini. Para aktor politik yang dibela para buzzer bukan semakin kuat dan mendapat kepercayaan publik. Tapi sebaliknya malah mengalami degradasi legitimasi. Mereka semakin banyak musuh dan otomatis dibenci publik.
Banyak sekali yang bisa kita analisis dalam kasus ini. Tapi satu hal yang pasti, sikap membabi buta tanpa empati yang selama ini dilakukan para buzzer telah membuat publik tidak simpati. Bahkan antipati dan muak. Terutama karena para buzzer over acting dan mentang-mentang.
Konyolnya lagi, banyak sekali serangan mereka justru menjadi senjata makan tuan. Baik bagi para buzzer maupun bagi tuan atau sponsor mereka sendiri. Maklum, kapasitas intelektual para buzzer umumnya pas-pasan. Akibatnya, mereka sering menyerang tanpa data dan akal sehat. Yang penting serang. Yang penting heboh. Tak dipikir konsekuensinya. Termasuk terhadap sponsor atau aktor politik penyewa jasa mereka.
Lebih konyol lagi, banyak para pendukung tokoh politik tertentu tiba-tiba antipati gara-gara ulah buzzer. Mereka yang semula mendukung tokoh tertentu kemudian berbalik 180 derajat antipati gara-gara ulah para buzzer yang over acting.
Era buzzer tampaknya memang mulai menunjukkan tanda-tanda akan tamat. Hanya aktor politik yang buta informasi dan ilmu komunikasi yang masih memakai jasa buzzer. Wallahu a’lam bisshawab.
M Mas’ud Adnan adalah alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa-AWS) dan Pascasarjana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News