Tafsir Al-Kahfi 54-55: Manusia Banyak Alasan

Tafsir Al-Kahfi 54-55: Manusia Banyak Alasan Ilustrasi

Rupanya Ali ibn Abi Thalib agak gengsi ketika diingatkan oleh mertuanya agar bangun dan shalat malam. Mungkin karena sedang asyik bercumbu bersama istri tercinta, Fathimah atau apa. Sehingga alasannya sok religious dan sufi. Merasa dirinya sudah menyatu di tangan Tuhan dan urusan bangun malam atau tidak adalah kehendak Tuhan.

Ali yang mengintip dari dalam di balik daun pintu melihat Rasulullah SAW lantas bergegas balik pulang setelah mendengar jawaban tersebut. Ali melihat Nabi SAW memukul-mukul pahanya sendiri, pertanda kecewa atas kata-kata itu. Tapi tidak membantah dan tidak meladeni. Tidak pula tersinggung walau jelas-jelas “digurui” oleh Ali. Kekecewaan beliau dilampiaskan dengan membaca ayat ini sambil berlalu. “wa kan al-insan aktsar sayi’in jadala...”. Dasar manusia banyak alasan.

Terbaca, bahwa betul-betul Rasulullah itu mertua yang hebat, masih sempat-sempatnya mengontrol anak dan menantunya shalat malam. Rupanya nabi tidak ingin anaknya, menantunya yang masih tergolong pasangan muda itu terlena dalam asyiknya dekapan malam. Jangan sampai kenikmatan biologis itu mengganggu keistiqamahan shalat malam, walau hanya sekali.

Tapi sayang, yang muda yang masih tenggelam dalam asmara kurang menerima bimbingan religius dengan sejuta alasan. Sesungguhnya sikap Ali ibn Abi Thalib itu manusiawi sekali. Tapi bagi derajat anak dan menantu nabi tidak boleh demikian. Harus di atas rata-rata ibadah manusia biasa.

Begitulah, jika tuan menjadi orang tua, mertua, maka turunlah mengurus ibadah anak-anak dengan bijak. Kontrollah keagamaan mereka. Jika dia pengusaha, orang kaya, maka ingatkan zakatnya, suruh perbanyak sedekahnya. Jika anak tuan menjabat, maka ingatkan kejujuran dan amanahnya. Jika anak tuan ilmuwan, maka doronglah aktif dan ikhlas mengajar.

Syukur-syukur seperti Nabi SAW hingga berkenan mengetuk pintu anaknya malam-malam, hanya demi membangunkan mereka untuk shalat. Padahal shalat malam, tahajjuddan, sebagainya itu hanya berhukum Sunnah.

Begitu halnya ketika anda sebagai anak. Maka bersyukurlah mempunyai orang tua, mertua yang aktif mengingatkan anda dalam berbuat kebajikan, dalam beribadah dan amal shalih. Jangan menggerutu dan jangan banyak alasan. Relalah dan terimalah, meski hati anda tidak menerima. Diam dan jangan sampai mengeluarkan kata-kata menyakitkan. “Sudah tua mbok yo diam saja. Gini salah, gitu salah. Begini nggak boleh, begitu nggak boleh... dst.”. Itu menyakitkan dan dosa, ‘uquq al-walidain.

Ketiga, ayat kaji ini mengabarkan orang-orang kafir di akhirat yang tidak terima dan mengingkari data amal yang diperlihatkan. Kelak, masing-masing manusia diberi buku catatan amal yang lengkap dan sangat detail. Orang beriman membacanya dan tersenyum gembira, karena hasilnya baik dan surga tempatnya. Senang sekali kayak anak sekolah menerima rapor dan dinyatakan naik kelas.

Sebaliknya orang kafir dan manusia durhaka. Membaca buku sendiri dengan wajah muram dan mengingkari. “Ah, ini tidak mungkin, tidak mungkin, dan aku tidak bisa menerima...”. Lalu protes kepada Tuhan dan mendebat banyak-banyak.

Tuhan berkata: ”Lho, itu rekapan amalmu yang dibukukan malaikat Raqib dan Atid. Aku hanya menerima data dari mereka...”. Kafir membantah: ”Ya, itu kan versi Raqib dan Atid, bukan saya yang menulis. Itu ngawur dan tidak begini. Saya beriman kepada-MU, kepada Rasul-Mu, saya shalat, saya sedekah, dan lain-lain, pokoknya saya tidak bisa menerima, titik.”

Sejenak Tuhan mengalah dan tidak meladeni, lalu memanggil Lauh Mahfudh, pusat data amal semua makhluq. “Hai Lauh Mahfudh, coba periksa catatan amal si Fulan ini. Dan hasilnya sama dengan buku salinan yang diberikan tadi."

Setelah dicocokkan, Tuhan berkata: ”Lho kan. Gimana, sama kan? Kami-kami ini tidak mengada-ada dan tidak pernah berbuat curang."

Tapi si kafir tetap ngotot: ”Ya, tapi kan bukan dari saya sendiri. Saya tidak begitu, tidak pernah saya berbuat begitu”.

Tuhan mengalah sejenak dan bertanya kepada tangan si kafir: ”Hai tangan, berkatalah jujur di hadapan tuanmu sendiri. Apa yang pernah kamu berbuat selama di dunia...?."  Tangan itu mengatakan dengan jujur persis seperti yang tertulis di dalam buku.

Tuhan berkata: ”Piye Dul?... Sudah dengar sendiri kan, pengakuan tanganmu..?”. Si Kafir itu tetap membantah. Lalu kaki yang disuruh bicara. Lantas kepala, kemaluan, mata, dan seterusnya. Kecuali mulut yang membisu karena dikunci. Akhirnya si kafir diam kehabisan alasan. Itulah makna, "wa kan al-insan aktsar syai’ jadala”. Manusia itu banyak alasan.

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO