Hutan Mangrove Bedul, Destinasi Pariwisata yang ‘Hancur’ karena Tarif

Hutan Mangrove Bedul, Destinasi Pariwisata yang ‘Hancur’ karena Tarif ?Perahu gondang gandung saat mengantar wisatawan menyisir hutan mangrove atau menyeberang dari Blok Bedul ke Blok Solo, atau sebaliknya. Foto:rosihan c anwar/bangsaonline

BANYUWANGI (bangsaonline)

Eksotisme , salahsatunya tergambar pada hutan mangrove blok Bedul dan blok Solo. Hutan mangrove ini sejatinya adalah muara dari kali Stail, dan acap disebut Segara Anakan, sejauh 17 km. Ketebalan hutan mencapai sekitaran 300 meter.

Ketika diseriusi menjadi salahsatu destinasi wisata di , dengan membangun berbagai fasilitas, mulai musala, toilet, dan joglo-joglo untuk istirahat, jumlah wisatawan lokal dan manca negara cukup membludak. Diperkirakan, ketika hari libur mencapai 2.000-an wisatawan. Saat ini, paling-paling hanya sekitaran 200 wisatawan.

“Sekitar dua tahun lalu, semuanya berubah. Jumlah wisatawan sangat susut. Ini gara-gara tiket masuk ke sini, dinaikkan,” kata Miskar, pemilik perahu gundang-gandung.

Menurut Miskan (60), tiket masuk saat ini dinaikkan menjadi Rp 22 ribu, padahal sebelumnya hanya Rp 5 ribu. Kenaikan tarif ini menjadikan wisatawan enggan datang ke hutan mangrove. “Padahal, pendapatan kami murni berasal dari banyaknya wisatawan yang mau menyeberang ke alas purwo, dari Blok Cepu ini,” kata Miskan, yang berasal dari Desa Sumber Rejo, Kecamatan Purwoarjo ini.

Memang, salah satu daya tarik tempat wisata mangrove ini adalah menyusuri muara atau menyeberang ke blok Bedul , dengan menggunakan perahu yang disebut gondang gandung. Selain perahu, para wisatawan juga bisa memancing anakan ikan kakap di dermaga. Pada musim burung migrasi, juga bisa menikmati ribuan burung berasal dari Australia yang hinggap di dahan-dahan mangrove.

“Jika waktunya migrasi burung, kerap burung dari Autralia memenuhi mangrove di sini,” kata Samidi, warga Desa Sumberasri yang sedang memancing ikan kakap merah anakan. “Wisatawan juga umumnya membludak. Tapi sekarang sepi. Justru sepi inilah, enak bagi kami memancing ikan,” tambah dia.

Sebelumnya, untuk mendapatkan penghasilan Rp 100 ribu, cukup ringan bagi Miskar. Tetapi, untuk saat ini, dia mengaku sangat sulit. Bahkan, perahu gondang gandung yang beroperasi setiap hari pun hanya tiga. “Sebelum tiket naik, perahu yang beroperasi ada 10. Para pemilik perahu lebih baik mengistirahatkan perahunya, karena memang pengunjung sepi.”

Susutnya pendapatan juga dialami para pemilik warung makanan. “Pendapatan kami jauh menyusut, karena jumlah wisatawan juga sangat sedikit,” kata satu penjual masakan ikan bakar.

Susutnya jumlah wisatawan ke hutan mangrove ini, tentunya mempunyai berpengaruh pada proyeksi Pemerintah Provinsi Jatim, yang menggadang-gadang Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Hutan Mangrove Bedul.

“Kami proyeksinya Pokdarwis Hutan Mangrove Bedul untuk mewakili Jawa Timur bertarung di tingkat nasional,” kata Rusmiati, Kepala Bidang Pengembangan Sumber daya Pariwisata, Dinas Kebudayaan dan Periwisata Provinsi Jawa Timur.

Pokdarwis ini, memang secara SDM cukup mumpuni, hanya saja, banyaknya jumlah wisatawan tentu sebagai ajang pembelajaran alami yang sangat dibutuhkan.

Lihat juga video 'Cuaca Kurang Bersahabat, Pelabuhan Ketapang-Gilimanuk Ditutup':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO