Sumamburat: Laku Itu dan Pancasila Ini

Sumamburat: Laku Itu dan Pancasila Ini Dr. H. Suparto Wijoyo.

Oleh: Suparto Wijoyo*

HARI-HARI ini, di suasana 21-22 Mei 2019 yang lalu atau jelang awal Juni ini, memang ada ketibaan yang melangkah dengan ragam masalah bangsa, apalagi soal penembakan, penganiayaan, dan sejumlah prasangka soal pemilu, sepertarikan nafas suasananya memasuki babakan tengah Ramadhan 1440 Hijriyah. Membiarkan masalah kemanusiaan yang ditindas amatlah anti Pancasila sebagai falsafah negara, termasuk laku tidak jujur dalam menyelenggarakan negara.

Ini problem, tetapi semua harus dapat dientas dalam kelindan yang waras. Meski demikian, tentu puasa ini tetap menggembirakan. Masjid-masjid ramai orang sembahyang dengan teguh menjaga hati agar tetap ada dalam kosmologi tauhid menjalankan puasa. Kekhusukan mesti diperjuangkan dan puasa jangan sampai batal secara hakikiah akibat ragam kejadian “ontran-ontran” yang menguji kesabaran.

Hadirnya pemilu yang mengingatkan tentang “coblosan oleh petugas” seperti sampah yang kleceran, seperti laron yang mengerubungi bola lampu, ia kepanasan sebelum akhirnya binasa.

Anak-anak itu tercabut nyawanya dan yakinlah tagihan atas nyawa itu akan jauh terdengar keras dari lahan kuburnya. Kini para “pengena seram hitam” saling mengeluarkan “alibi” yang mudah diterka tingkat galaunya dari wajah yang tersorot kamera. Atau kian keras beringasnya untuk menerkam siapa saja yang mengunjuk rasa.

Raut muka itu memang lugu tanpa tanda “wagu”, apalagi malu clometan. Kata yang diunggah sangat menarik: sabotase, kelalaian, perlu dibakar, makar, dimusnahkan, dan istilah kadaluwarsa mengungkit nada waras khalayak. Sanksi pun diberikan kepada siapa saja yang teledor. Teledor membuatnya atau teledor menyembunyikannya.

Sungguh belum jelas persepsi orang tentang “penyembunyian pelaku” pembantaian anak-anak itu, muncul pula soal “harga diri” sebuah jabatan yang beratribut sangat ideologis, yakni kini kita punya institusi penyuara Pancasila, BPIP konon namanya. Peringatan yang dirayakan dengan “khutbah-khutbah khusus” sebagai pesan pengamalan nilai-nilainya terasa ada yang mengganjal. Amanat yang disampaikan para pejabat mengenai arti Pancasila itu memang bernas, nadanya tertata dan intonasinya mengena betapa mewujudkan Pancasila dalam keseharian adalah kebutuhan prinsipal. Namun pidato yang “menggelegar” itu diwarnai kehambaran akibat munculnya kebijakan yang bersinggungan dengan lembaga “penyuara makna Pancasila” di mata rakyat. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) memiliki separangkat organ dan orang yang ternyata dibayar, yang menurut ukuran awam sangat fantastis. Ingatkah berapa gaji tim BPIP?

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO