Praktisi Hukum Apresiasi Putusan MK Soal Delik Makar

Praktisi Hukum Apresiasi Putusan MK Soal Delik Makar A. Fajar Yulianto

GRESIK, BANGSAONLINE.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan setiap permulaan atau percobaan makar sudah dapat dikenai delik pidana. Sehingga, tidak perlu menunggu sampai pemerintahan yang sah terguling.

Hal ini mendapatkan apresiasi dari A. Fajar Yulianto, S.H, salah satu praktisi hukum di Kabupaten Gresik. "Keputusan MK itu menurut saya perlu diapresiasi, sebuah ketegasan secara filosofi untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus kondusif. Hal ini bisa diartikan sebagai fungsi preventif hukum pidana," ujar Fajar kepada BANGSAONLINE.com, Kamis (9/5).

"Memang kita mengakui adanya doktrin "mens rea = guilty of mind" pada hakikatnya sejalan dengan asas "tiada pidana tanpa kesalahan". Redaksi 'kesalahan' di sini suatu delik tidak harus sempurna terlaksana sesuai maksud dan tujuan utama, tapi melakukan perbuatan pelaksanaan permulaan juga merupakan sebuah kesalahan," jelasnya.

Ia mengumpamakan seseorang yang berniat mencuri uang di mesin ATM, tapi kepergok security saat mencongkel mesin ATM. Meski belum berhasil mengambil uangnya, tapi pelaku sudah bisa dikenai pidana dengan bukti adanya niat jahat berupa tindakan mencongkel ATM. "Hal ini sudah jelas telah melakukan perbuatan melawan hukum, karena sempurnanya perbuatan adalah adanya bekas congkelan (perusakan)," terangnya.

"Demikian pula terkait delik perbuatan makar, jika memang terbukti adanya perbuatan, pendahuluan atau permulaan berupa ancaman penggerakan people power dilakukan dengan niat sudah tidak yakin dan percaya lagi pada konstitusi dengan perangkatnya, maka hal inilah menjadi sempurna terhadap delik perbuatan pidananya. Apalagi perbuatan itu diekspos secara tersrutuktur, sistematis, dan masif sehingga dapat meninggalkan kesan sebagian masyarakat terpengaruh dan meyakini atas kebenaran upaya memperbaiki pemerintah dengan jalan inskonstitusional," urainya.

"Setidaknya dari perbuatan awal ini jelas meninggalkan bekas adanya rongrongan, hasutan, ujaran kebencian terhadap pemerintah yang sah, hingga potensi mengancam keutuhan NKRI," sambung Direktur LBH Fajar Trilaksana and Rekan ini.

"Namun penentu terakhir, sebagai benteng pamungkas terjaganya NKRI secara konstitusi ada di tangan hakim. Hakim dalam memutus perkara ini harus dilandasi dalam perspektif hukum progresif karena tujuan hukum di sana ada kepastian hukum, keadilan, dan kemaslahatan (asas manfaat) yang harus mampu menyeimbangkan putusanya, jangan sampai berdampak pecah persaudaraan sebangsa dan setanah air," pungkasnya. (hud/rev)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO