Sumamburat: Multifungsi TNI Mengatasi Karhutla

Sumamburat: Multifungsi TNI Mengatasi Karhutla Suparto Wijoyo.

Pada lingkup inilah, saya tertegun kagum atas ungkapan tersebut yang berarti: negara dan desa diibaratkan seperti singa dengan hutan/apabila desa rusak, rusaklah negara karena kekurangan pangan/kalau tidak ada tentara yang kuat, pasti negara mudah diserang musuh/untuk itulah peliharalah keduanya. Sebuah pesan yang sangat fenomenal dalam peradaban ekologis antara pertahanan negara dan hutan. Membangun negara harus berpijak pada kepentingan eksosistem hutan, sehingga amatlah logis apabila TNI terpanggil mengatasi karhutla.

Apalagi kebijakan menambah pasukan TNI dalam Satgas Karhutla itu didasari oleh pengkajian fundamental bahwa kerhutla memilki dampak buruk kepada lingkungan dan kemansiaan. Asap pekat karhutla berpotensi mengganggu aktivitas dan kesehatan masyarakat. Begitulah keterangan yang diberikan Mabes TNI dan saya mengamininya. Penerjunan anggota TNI diharapkan mampu menghentikan karhutla secara efektif sejalan dengan arahan Presiden dalam Rakornas Pengendalian Karhutla di Istana Negara awal tahun 2018 lalu: penegak hukum diperintahkan tidak ada kompromi terhadap perusahaan pelaku karhutla. Sebuah permintaan yang menampar keras pemangku otoritas hukum yang kerap naif menghadapi kasus karhutla yang “dipamerkan” berkelanjutan.

Tentu TNI semakin terpanggil dengan data dari Forest Watch Indonesia yang menyebutkan bahwa hutan alam Sumatera tersisa 11,4 juta hektar akibat alih fungsi hutan untuk tanaman industri, perkebunan, dan pertambangan. Diprediksi dalam 10 tahun ke depan, hutan Sumatera hanya tinggal 16% dari total luas pulau ini. Bukankah selama ini memang aneh, rezim silih berganti, mengapa karhutla tidak berhenti? Sampai kapan “siklus tahunan” karhutla enyah dari negeri ini?

Terhadap kasus karhutla, secara yuridis dapat diterapkan tiga jerat hukum. Pertama, aspek administratif yang dilakukan dengan pengawasan dan penerapan sanksi. Apabila suatu wilayah mengalami karhutla, hal itu menandakan betapa lemahnya kinerja pengawasan instansi birokrasi KLHK. Organisasi pemerintahan menjadi pihak yang dapat diminta pertanggungjawaban hukum atas berkobarnya karhutla. Pejabat pengawas yang tidak melakukan tugasnya secara profesional, dapat dipidana.

Kedua adalah aspek kepidanaan terhadap pelaku karhutla. Korporasi menjadi prioritas penanganan karhutla sejurus dikeluarkannya PERMA No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. Pertanggungjawaban pidana lingkungan memang dapat dibebankan kepada perseorangan (natuurlijke persoon) atau badan hukum (rechtspersoon). Pertanggungjawaban pidana terhadap pengurus atau pimpinan ini jugadiatur di USA. Pasal 51UU Pidana Belanda (Stb. 1998 No. 35) pun memuat sanksi dan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi.

Jerat hukum ketiga berupa gugatan atas kerugian yang dialami korban karhutla dengan landasan konstitusional Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28 Piagam Hak Asasi Manusia (Tap. MPR‑RI No. XVII/MPR/1998). Gugatan lingkungan dapat dilakukan oleh perseorangan, kelompok masyarakat (class action), LSM, bahkan pemerintah atas kerugian yang disebabkan karhutla. Langkah ini dikonstruksi semakin kuat dengan dwi fungsi, eh “multifungsi TNI” yang berjiwa ekologis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO