Oleh: Dr. KH
A Musta'in Syafi'ie M.Ag. . .
Wayad’u al-insaanu bialsysyarri du’aa-ahu bialkhayri wakaana al-insaanu ‘ajuulaan (11).
BACA JUGA:
- Tafsir Al-Anbiya' 48-50: Abu Bakar R.A., Khalifah yang Rela Habiskan Hartanya untuk Sedekah
- Tafsir Al-Anbiya' 48-50: Momen Nabi Musa Berkata Lembut dan Keras kepada Fir'aun
- Tafsir Al-Anbiya 48-50: Fir'aun Ngaku Tuhan, Tapi Tak Mampu Melawan Ajalnya Sendiri
- Tafsir Al-Anbiya' 41-43: Arnoud Van Doorn, Petinggi Partai Anti-Islam yang Justru Mualaf
"Wakaana al-insaanu ‘ajuulaan". Manusia, kalau punya mau, tidak sabaran. Maunya cepat-cepat tercapai. Semua persoalan harus cepat beres dan tuntas. Sisi lain, makna "‘ajula" menyiratkan ketidaktelitian, sehingga, meskipun cepat selesai, tapi ada yang kelewatan. Wong Jowo menyebutnya sebagai: "Kebat Keliwat". Tentu saja hasilnya tidak baik. Ayat senada juga ada, seperti al-Anbiya': 37.
Walhasil, namanya tergesa-gesa - pada umumnya - tidak baik, kecuali dalam keadaan emergensi atau peribadatan. Tapi pada perkara ini, lebih pas diistilahkan dengan "segera". Segera bertobat, segera ke masjid, segera menyelesaikan tugas dan jangan ditunda. Jadi beda, kalau tergesa-gesa itu namanya "isti'jal", kalau segera, namanya "mubadarah".
Tergesa-gesa yang menimbulkan kegagalan total, terhalang, dan tidak mendapat apa-apa, oleh fiqih - dicontohkan seorang istri muda yang tidak sabar menunggu kematian suaminya yang sudah tua dan kaya raya. Lalu dia membunuhnya agar segera mendapat warisan. Istri muda itu malah tidak mendapat warisan, karena dalam syari'ah islam, membunuh itu menghalangi pewarisan.
Shalat yang cepet-cepetan, meskipun kewajiban telah gugur, tapi tidak akan membekas di dalam jiwa. Shalat itu hambar, kurang menghasilkan power ruhiyah, potensi ketaqwaan yang mampu menangkal perbuatan maksiat. Siswa yang baik, dia mengerjakan soal dengan tenang, teliti, dibaca lagi, diteliti lagi, baru disetorkan ke meja pengawas ujian.