Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag. . .
In ahsantum ahsantum li-anfusikum wa-in asa'tum falahaa fa-idzaa jaa-a wa’du al-aakhirati liyasuu-uu wujuuhakum waliyadkhuluu almasjida kamaa dakhaluuhu awwala marratin waliyutabbiruu maa ‘alaw tatbiiraan (7).
BACA JUGA:
- Tafsir Al-Anbiya' 48-50: Abu Bakar R.A., Khalifah yang Rela Habiskan Hartanya untuk Sedekah
- Tafsir Al-Anbiya' 48-50: Momen Nabi Musa Berkata Lembut dan Keras kepada Fir'aun
- Tafsir Al-Anbiya 48-50: Fir'aun Ngaku Tuhan, Tapi Tak Mampu Melawan Ajalnya Sendiri
- Tafsir Al-Anbiya' 41-43: Arnoud Van Doorn, Petinggi Partai Anti-Islam yang Justru Mualaf
Tafsir ini tidak membaca dari perspektif politik, karena politik di negeri ini sama dengan kepentingan. Tafsir ini sekadar bertanya-tanya: "kok bisa ada siswa tega membunuh gurunya. Kok bisa ada presiden BEM mengkartu kuning presiden NKRI. Kok bisa sekelas anggota DPR ikutan cara mahasiwa jalanan?"
Apakah ini yang pernah diresahkan oleh seorang sarjana lulusan terbaik dari sebuah perguruan tinggi di Amerika Serikat, dulu? Sarjana itu dinobatkan sebagai sarjana berprestasi dengan kelulusan berpredikat Summa Cumlaude.
Dipersilakan naik ke mimbar kehormatan untuk menerima ijazah sekaligus piagam penghargaan. Ketika diberi waktu untuk menyampaikan kata sambutan, sarjana tersebut tidak menyampaikan kata apapun, malah ijazah yang sedang ada di tangan dirobek-robek dan sobekannya dilempar ke depan para guru besar dan jajaran civitas akademika.
Tidak ada keamanan yang menangkap, justru terjadi dialog antara dia dan jajaran guru besar. "why..?". Mengapa anda tega merobek ijazah yang selama ini anda idamkan, bukankah itu hasil jerih payah anda selama ini?.