Sekilas Cerita Penumpasan Buwana Keling oleh Ulama di Pacitan

Sekilas Cerita Penumpasan Buwana Keling oleh Ulama di Pacitan Makam Buwana Keling di Pacitan. foto: ist

PACITAN, BANGSAONLINE.com - Menyimak sejarah penggawa asal Kalingga Selatan, Buwana Keling, yang dikenal sakti hingga jazadnya harus dipisahkan dengan sungai agar tidak bisa kembali menyatu dengan bumi. Berikut sekilas mengenai orang sakti di Pacitan itu.

Negeri Buwana Keling terletak di Jati Kecamatan Kebonagung, kurang lebih berjarak 7 km dari ibu kota Pacitan. Buwana Keling seorang penguasa Wengker Kidul, masih beragama Budha Siwa berasal dari Pajajaran. Ia menikahi putri Brawijaya V yang bernama Ni Toh Gati yang tidak lain adalah saudari tua Raden Patah maupun Raden Katong sendiri. Ajakan Betara Katong mempersatukan seluruh wilayah Wengker melalui utusannya tidak ditanggapi oleh Buwana Keling yang tak lain adalah iparnya sendiri karena strata penguasa Wengker Kidul lebih tua dari Betara Katong.

"Hal ini menjadi pemicu peperangan sengit yang cukup panjang antara kedua belah pihak," ujar Ki Ageng Jolothundo, pemerhati sejarah Pacitan, Rabu (9/5).

Dalam sebuah legenda Ki Ageng Posong bersama Ki Ageng Petung dibantu Ki Ageng Menak Sopal (kelak menjadi cikal bakal Kabupaten Trenggalek), mereka bertiga kewalahan menghadapi pertahanan Buwana Keling, sehingga ketiganya meminta saran kepada Syeh Maulana Maghribi agar dapat memenangkan peperangan.

"Setelah mengetahui rahasia kelemahan Buwono Keling atas saran Syeh Maulana Maghribi, ketiganya berhasil memenggal tubuh Buwono Keling menjadi tiga bagian dan memakamkannya di tiga tempat," ceritanya.

Sementara dari arah barat datang rombongan Sunan Bayat melakukan syiar Islam di daerah Kalak (Kecamatan Donorojo). Beliau dikenal dalam ragam sejarah lisan masyarakat setempat sebagai ulama yang telah menakhlukkan hati Raden Kalak memeluk agama Islam. Raden Kalak adalah anak Brawijaya V yang mengawini adiknya sendiri (anak Brawijaya V putri dari ibu yang berbeda). Huru-hara Majapahit menyebabkan ia bersama istrinya melarikan diri di sekitar hutan Donorojo (yang kemudian dikenal sebagai Desa Kalak). Atas nasehat Sunan Bayat serta merta Raden Kalak bersedia menceraikan istrinya dan menikahi salah seorang putri Sunan. Raden Kalak bergelar Kyai Cengkris, sedangkan janda yang tak lain adiknya sendiri dinikahkan dengan Kyai Sujendro pengikut setianya.

Sampai sekarang terdapat mitos dari pekuburan kedua tokoh tersebut tumbuh pohon pucang (jambe/pinang) yang memiliki keajaiban apabila potongan kayunya dibawa dapat kebal terhadap semua jenis senjata. Dari mitos tersebut terdapat kisah pada tahun 1965 saat pergolakan G30S/PKI, beberapa anggota tentara Siliwangi yang melakukan pemberantasan tokoh-tokoh PKI menyita beberapa potongan kayu tersebut kepada masyarakat.

"Cerita ini dibenarkan oleh masyarakat setempat. Kemahsyuran Raden Kalak ditandai dengan masih banyak pengunjung yang datang ziarah di Gua Kalak. Bahkan Presiden Suharto di tahun 1972 pernah ziarah di sana diikuti petinggi negara (Mbah Morejo:1980 melalui Juru Kunci Gua Kalak)," jelas Jolothundo mengenang sejarah tersebut.

Usai menyampaikan syiar kepada Raden Kalak dan pengikutnya, Sunan Bayat melanjutkan perjalanan ke Timur sampai di Dusun Bleber (Kecamatan Kebonagung). Di sana ia dikenal dengan sebutan Mbah Brayat/Brayut sebagai tokoh yang babad alas di daerah Gayam dan Sidomulyo. Sebutan Brayat diambil dari bahasa Jawa sak brayat yaitu boyong dalam jumlah banyak pengikutnya, sedangkan Brayut dari kata brayut yang berarti membawa beban perbekalan yang banyak.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO