Sumamburat: Kerudung Nopo Sarung

Sumamburat: Kerudung Nopo Sarung Suparto Wijoyo

Oleh: Suparto Wijoyo*

TAKZIM, ketertundukan dan simpuh hormat selalu kuhantarkan kepada para Kiai-kiaku, guru tingkat Langgar dan Masjid di kampung halaman maupun Madrasah serta perguruan-perguruan yang selam ini “mendadar” diriku. Dari beliau-beliau itulah saya mendapatkan pengajaran dan teladan menyeru hikmah. Belajar bersesuci dengan air suci yang menyucikan maupun urusan-urusan fiqih seperti diterangkan Imam Al-Ghazali dalam kitab induknya Ihya Ulumiddin tak elok dilupakan. Puluhan kitab Sang Imam kelahiran Kota Thus, Khurasan tahun 450 Hijriyah ini memang menjadi rujukan yang senantiasa diwarnakan kepadaku.

Kiai yang tinggal di pedesaan sampai dengan perkotaan yang dipenuhi gedung-gedung angkuh menjulang menyapa angkasa tetaplah ada dalam poros meneduhkan jamaahnya. Beragam pilkada dilintasi para kiai tanpa jeda meski sesekalifitnah membubung dari setiap jejak langkahnya.

Kiai memanggul pesona dan menuang kehangatan dengan martabat dan keluhuran budinya senafasfungsi utamanya “sebagai pewaris para nabi” sebagaimana hadits yang diriwayatkanAt-Tirmidzi. Semua santri paham betul mengenaikiai selaku pengemban ilmu alias ulama “penyambung suara umat” Nabi.

Gusti Allah swt menjaga marwah Kiai dengan posisi yang amat indah di bentara sosial. Sebuah realitas untuk menunjukkan bahwa Kiai itu bagian dari ayat-ayat hidup guna “ditafakuri” seperti kalian “menatap julangan gunung berapi. Pengajaran berthara dipraktekkan“sebagai bagian dari iman”, sehingga merupakan “amnesia makna” apabila kini banyak dikampanyekan orang-orang sekolahan tentang pentingnya cuci tangan, menjaga hidup bersih.

Bagaimana anda yang shalatnya tidak jelas harus mengajari hidup bersih kepada mereka yang tidak telat lima waktunya? Bukankah sudah amat mendarah daging pesan bersesuci, hingga para the best prayers pastilah tidak hanya rajin bercuci tangan, bahkan cuci muka, cuci kaki, mengusap kepala serta telinga pun niscaya dilakukan. Atau memang terdapat keanehan: di mana ada penyembah tetapi jorok hidupnya. Kalau ini yang tampak, betapa pejorok yang rajin shalat itu sesungguhnya sedang membenihkan kontroversi tanpa arti.

Dalam tingkat ini saya sangat mengerti mengapa dahulu guru-guru, modin di langgar kampung sangat keras mengajari mengaji dan tata cara berwudhu serta shalat. Melalui cara hidup bersih itulah harum diri kiai menyerbak ke suluruh relung kehidupan murid-muridnya dan nyantol di benak nuraninya. Maka pelajaran kiai sangat menentukan kualitas hidup, tetapi sering diabaikan melalui propaganda “operasi disfungsional ulama” agar menepi dari jalannya negara.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO