Sumamburat: Sedekah Suara

Sumamburat: Sedekah Suara Suparto Wijoyo

Oleh: Suparto Wijoyo*

PILKADA hadir menjadi pesona yang memukaukan pandangan bagi mereka yang gandrung kekuasaan. Hiruk pikuknya dianggap sebagai tembang yang melantunkan merdunya kosa kata. Kampanye digelar guna meneriakkan cita-cita menjemput takdir meraih tahta. Semua orang yang terpancing “syahwat” pilkada tidak segan menuang segala cara untuk mendapatkannya.

Jabatan kepala rukun tetangga sampai kepala negara diburu penuh nafsu yang amat kentara. Sampai di sini ingatan digiring menuju tarikh pemikiran Niccolo Machiavelli yang lahir pada tahun 1469 di Florence, Italia yang memperkenalkan buku Il Principe. Karya Sang Pangeran yang ditulis Machiavelli pada tahun 1513 diterima oleh “pecandu kuasa” menjadi “kitab agung” tata cara meraih kekuasaan dengan hukum-hukum spesifiknya: membunuh sahabat seperjuangan maupun mengkhianati teman-teman.

Kekuasaan dianggitkan bukan soal agama dan moralitas, melainkan seberkas gumparan kekuatan. Tidaklah heran kalau Napolen Bonaparte dikabarkan selalu menyimpan buku ini di bawah bantal tidurnya. Kekuasaan memang dipanggungkan penuh pijaran kehormatan bagi yang hendak merengkuhnya, sehingga apapun bisa dikorbankan demi untuk mendudukinya.

Saksikanlah bagaimana drama pilkada terus berlanjut dalam panggung nasional yang kemarin “diselimuti duka” ambruknya ruang Bursa Efek Indonesia di Kawasan Jenderal Sudirman, Jakarta. Setiap saat, pilkada menyedot energi umat maupun yang sedang dimabok kepayang tentang “seksinya” tampilan pemegang otoritas negara.

Demi mendapatkan kehormatan untuk nanti berorasi di “mimbar kantor” pemerintahan yang membawahi beribu pegawai yang senantiasa menyimpulkan sungging senyumnya, sang tokoh tega melakukan aksi di luar batas imaji. Kini warga “teraduk pikirnya” menyaksi bisik-bisik uang mahar untuk mendapatkan rekomendasi. Bisikan yang telah lama menyesakkan publik itu akhir-akhir ini diberi pengeras suara dengan nada dasar “terluka”.

Calon yang gagal menerima “pinangan” dari salah satu partai politik tampil seperti “komandan menyeru prajuritnya”. Gempita pilgub Jatim diramaikan tetabuhan yang sumbang dengan “gamelan biaya politik” yang ditujukan kepada ketua partai (andai saja sang ketua ini merekomendasikan pun, dia tetap akan berjalan sendirian, karena koalisi tidak kunjung bisa diraih), dan ini klimaks dari “kegagalan diri”, bukan akibat ketidakpedulian partai.

Mahar itu seperti “bayangan mimpi” yang realitasnya hanya ada dalam “kelambu tidur mendengkur” yang sejatinya dirasakan “pengidam jabatan negeri”. Bagi pembaca Sumamburat yang tidak tertarik melakukan “pernikahan politik” untuk segera “hamil kekuasaan”, dipastikan tidak pernah “nyidam mahar rekomendasi”. Pada batas ini, urusan nuruti “jabang bayi” ada dalam wilayah privasi dengan probabilitas tetangga turut membantu mencarikan adalah soal “kerelaan hati”.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO