Sumamburat: Brilaj Femuroj

Sumamburat: Brilaj Femuroj Suparto Wijoyo

Oleh: Suparto Wijoyo*

SELAMA 93 TAHUN, nyaris seabad, rentang waktu yang membentang membukakan pintu rahasia untuk membaca suksesi kepemimpinan yang tengah dipentaskan. Lorong kisah perebutan genggam otoritas dari tahun 1200-1293 menggelarkan tikar referensial yang saying untuk diabaikan. Gelora kuasa digilir melalui pertumpahan darah meski dengan “humor yang paripurna”.

Periode pengembangan diri Ken Angrok (Ken Arok-Ken Anrok) saat diemban Ken Ndok yang mengalami pembuaian dari “Sang Brahma” alias pemilik daulat, yang tidak lain adalah Akuwu Tumapel sendiri, Tunggul Ametung, amatlah memukau. Mozaik harta-tahtah-wanita selalu membersit dalam terang dan gelapnya kekuasaan negara. Simpul “perselingkuhan paksa” Ken Ndok dan Tunggul Ametung dibalut atas nama menjaga kesucian penguasa. Suami Ken Ndok digiring untuk bunuh diri dan mempersilakan Ken Ndok membopong jabang bayi “titah dari para dewa” yang kelak dikenal bernama Ken Angrok.

Periode 1216-1222 adalah masa-masa yang menyajikan warta kebiasaan Tunggul Ametung tilik kampung. Pada tarikh 1221-1222 merupakan babakan historia “kunker” tanpa henti gunameresmikan “infrastruktur” yang telah diprogramkan. Desa Panawijen menjadi areal yang musti disinggahi untuk “memverifikasi” kebenaran kabar burung yang telah lama hinggap di Kotaraja Tumapel: ada kembang desa yang jelita. Tunggul Ametung menurunkan tilik sandi “segelar-seempan” dalam mencermati seluruh relung geografis tempat tinggal Pertapa Agung Mpu Purwa.

Kelok jalanan dan hijaunya pegunungan mendesiskan jiwa Sang Akuwu menangkap sekelebatan sosok penuh pesona, putri semata wayang,wanita penanda zaman, penyempurna semesta. Ken Dedes mutlak diboyong tanpa perlu menunggu restu ayahandanya. Sebuah langkah yang “menabrak hukum dan moralitas” dari pemangku kuasa yang abai tata krama, dimabuk asmara. Ken Dedes dipersunting dengan membanting segala memori mimpinya tentang peran perempuan utama.

Deret waktu 1222 menginformasikan bahwa Ken Dedes bunting tiga bulan dengan gelora wisata alam yang terus menggema. Visi eco-tourism menjadi “agenda nyidam” yang harus dipenuhi. Taman Baboji adalah tujuan penting yangdisinggahi rombongan pelesir pujaan hati. Armada mobil dinas pakuwuan digeber untuk mengangkut personil muhibah jelajah perdesaan.

Akuwu Tunggul Ametung mengajak para petinggi negara, termasuk Panglima Angkatan Perang yang dijabat Ken Arok. Pengawalan terceritakan super ketat dengan sistem detektor yang cermat, sehingga tidak semua punggawa memiliki akses pada Sang Permaisuri. Hanya Panglima Ken Angrok yang berkesempatan untuk berada di lingkaran inti pengamanan sesuai dengan tupoksi protokolernya.

Sewaktu Ken Dedes turun dari Kereta Kencana itulah bongkahan imaji perebutan kekuasaan dimulai ketika Sang Panglima menyaksikan “altar kesucian” Ken Dedes terbuka akibat “keteledorannya” membiarkan “kain jariknya” tersingkap. Ken Arok berdegub dalam kelinjang “sumber kehidupan” Ken Dedes yang memancarkan cahaya dan memantulkan pesona. Peristiwa ini bagi Ken Anrok harus digelar dalam “halaqoh” yang spesial bersama Guru Besarnya, Yang Dipertuan Lohgawe sambil mengejasecond opinion Bangau Samparan tentang wanita yang pahanya bersinar, pikangnya menyilaukan.

Ken Dedes adalah pemilik “pikang cemerlang” yang dalam kosa kata Esperanto terekam dalam cawan brilaj femuroj, ino femuro carmo maupun ina lumo lumo. Mahkota kehormatan yang musti disematkan pada Ken Dedes adalah wanita adiwanita, nareswari (permaisuri) yang nariswari (wanita berderajat luhur, wanita unggul yang mampu memartabatkan siapapun di puncak supremasi demokrasi). Rahim Ken Dedes menurut hasil “FGD dewan pertimbangan” akan “memproduksi raja-raja Jawa”.Pada spektrum inilahperebutan “dampar kencono” digelar dalam parade “pembunuhan terstruktur” berbasiscinta dan dendam yang diawali pelantikan Rajasa, deklarator Singhasari (Singosari).

Sesungguhnya mengenai brilaj femurojitu bukanlah monopoli Ken Dedes. Setiap “ruas pikang wanita” teranugerahi secara krodrati “aura pemancar abadi”. Untuk itulah agama memberikan pengajaran tentang aurat yang musti ditutupi. Sekali “pikang terbuka”, terjadilah kemilau cahaya yang mampu menerobos ke seluruh jaringan seluler. “Garis edar tata surya ruhani manusia sekelas Ken Angrok dibuat limbung dalam “gelombang poros” syahwat yang melenggang di gelanggang politik. Pembunuhan Tunggul Ametung adalah reaksi atas “sebongkah paha” yang menggedor pintu jiwa Ken Angrok.

Pustaka dan dongeng verbal Arok-Dedes memberikan pijaran bahwa wanita adalah jalan kekuasaan sekaligus perebutan dengan menafikan hukum-hukum negara. Pada lingkup “sinar terang paha Ken Dedes”, ayat-ayat konstitusi yang mengajarkan raihan jabatan dapat dieleminasi oleh “ayat-ayat cinta”. Tragedi adalah gema ikutan yang menggulung “jamaah pilkada”.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO