Tafsir Al-Nahl 126, 127, 128: Teologi Zalim-Zaliman

Tafsir Al-Nahl 126, 127, 128: Teologi Zalim-Zaliman Ilustrasi

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

Wa-in ‘aaqabtum fa’aaqibuu bimitsli maa ‘uuqibtum bihi wala-in shabartum lahuwa khayrun lilshshaabiriina (126). Waishbir wamaa shabruka illaa biallaahi walaa tahzan ‘alayhim walaa taku fii dhayqin mimmaa yamkuruuna (127). Inna allaaha ma’a alladziina ittaqaw waalladziina hum muhsinuuna (128).

Ayat studi 126 al-Nahl menyebutkan bolehnya membalas orang yang menzalimi, asal sepadan. Kayak qisas dalam fiqih jinayat tanpa ada diskriminasi. Semua manusia sama, tak peduli apa kelebihannya. Bagi seorang Muhammad ibn Abdillah (nabi), Hamzah adalah paman tercinta yang sangat berjasa dalam penyebaran Islam, utamanya periode awal Madinah. Karena jagoannya, maka punya gelar sendiri, "singa Allah" (asad Allah), gelar khusus dan di atas rata-rata manusia.

Ternyata gugur dalam perang Uhud dengan keadaan sangat mengenaskan. Badannya dipotong-potong, hidungnya dipangkas, telinganya diiris, perutnya dirobek, jantungnya diambil. Nabi bersumpah hendak membalas memutilasi tujuh puluh orang kafir. Pertimbangannya, selain manusiawi sebagai keponakan, selain derajat muslim tidak sama dengan kafir, Hamzah adalah pribadi muslim yang sangat spesial dan berjasa berjasa besar dalam dakwah islam periode awal.

Atas pertimbangan tersebut, seorang Muhammad, Rasulullah SAW memandang pantas, jika satu orang Hamzah setara dengan tujuh puluh orang kafir. Ternyata, tidak begitu pandangan Allah SWT. Tuhan mengoreksi pandangan rasul-Nya yang emosional dan memberi arahan, bahwa perhitungannya berasas keadilan, per nyawa, per jiwa. Satu orang bertanding satu orang tanpa diskriminitas, meskipun beda agama. Nyawa, rasa sakit, lapar, haus adalah murni urusan fisik, tidak ada hubungannya dengan agama. Sakit ya sakit, muslim atau kafir sama saja.

Kata "aqabtum, aqibu dan uqibtum" sebagai mana tertera pada ayat studi menunjuk makna "uqubah", siksaan atau hukuman, di mana, lazimnya uqubah itu baru ada setelah ada tindak kejahatan lebih dahulu. Tapi dipakai juga untuk tindakan awal (menjahati). Hal demikian untuk menyelaraskan dan dibolehkan dalam studi kebahasan. 

Sisi fikihnya memunculkan pertanyaan: Bolehkah seseorang membalas menzalimi orang lain dengan tindakan sepadan?

Misalnya, si Fulan punya hutang seribu kepada si Ali. Dompet Fulan tertinggal dan Ali menemukan. Sebelum dikembalikan, Ali mengambil seribu dari dompet milik Fulan. Bolehkah?

Madzhab Malik ibn Anas tidak membolehkan, sedangkan Ibn Sirin, al-Nakha'iy, Mujahid membolehkan. Keduanya sama-sama punya dasar. Bagi Malik, Ali wajib menunaikan amanah "nemu", yaitu mengembalikan dompet (amanah) yang ditemukan secara utuh, tidak boleh dizalimi. Soal hutang, itu urusan lain, tidak bisa dikait-kaitkan dan diekskusi secara sepihak.

Sedangkan bagi Ibn Sirin, Ibrahim al-Nakha'iy dan kawan-kawan, hal itu boleh karena mengambil haknya sendiri. sehingga tidak harus pakai izin dan persetujuan. Mereka berdasar pada umumnya ayat studi ini.
"fa’aaqibuu bimitsli maa ‘uuqibtum bihi" menunjuk perintah mengambil hak sendiri yang sedang ada di tangan orang lain.

Meski demikian, memperhatikan etika dan saling baik-baikan sangat ditunut. Seperti memberitahu dengan baik-baik setelah uang dipegang. Kecuali si Fulan benar-benar tidak ada niat baik untuk membayar, barulah boleh mengekskusi.

Tidak sama dengan persoalan sandal yang hilang di masjid, lalu mengambil sandal orang lain yang dinilai sepadan. Hukumnya tidak boleh, berarti sama-sama maling, meskipun tinggal satu-satunya sandal yang tersisa. Alasannya antara lain, belum tentu sandal yang tersisa itu milik pengambil sandal anda. Itu urusan hak milik, Islam menjaga dan mengatur dengan bagus agar tidak ada penzaliman.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO