Tafsir Al-Nahl 126, 127, 128: Teologi Zalim-Zaliman

Tafsir Al-Nahl 126, 127, 128: Teologi Zalim-Zaliman Ilustrasi

Sisi fikihnya memunculkan pertanyaan: Bolehkah seseorang membalas menzalimi orang lain dengan tindakan sepadan?

Misalnya, si Fulan punya hutang seribu kepada si Ali. Dompet Fulan tertinggal dan Ali menemukan. Sebelum dikembalikan, Ali mengambil seribu dari dompet milik Fulan. Bolehkah?

Madzhab Malik ibn Anas tidak membolehkan, sedangkan Ibn Sirin, al-Nakha'iy, Mujahid membolehkan. Keduanya sama-sama punya dasar. Bagi Malik, Ali wajib menunaikan amanah "nemu", yaitu mengembalikan dompet (amanah) yang ditemukan secara utuh, tidak boleh dizalimi. Soal hutang, itu urusan lain, tidak bisa dikait-kaitkan dan diekskusi secara sepihak.

Sedangkan bagi Ibn Sirin, Ibrahim al-Nakha'iy dan kawan-kawan, hal itu boleh karena mengambil haknya sendiri. sehingga tidak harus pakai izin dan persetujuan. Mereka berdasar pada umumnya ayat studi ini.
"fa’aaqibuu bimitsli maa ‘uuqibtum bihi" menunjuk perintah mengambil hak sendiri yang sedang ada di tangan orang lain.

Meski demikian, memperhatikan etika dan saling baik-baikan sangat ditunut. Seperti memberitahu dengan baik-baik setelah uang dipegang. Kecuali si Fulan benar-benar tidak ada niat baik untuk membayar, barulah boleh mengekskusi.

Tidak sama dengan persoalan sandal yang hilang di masjid, lalu mengambil sandal orang lain yang dinilai sepadan. Hukumnya tidak boleh, berarti sama-sama maling, meskipun tinggal satu-satunya sandal yang tersisa. Alasannya antara lain, belum tentu sandal yang tersisa itu milik pengambil sandal anda. Itu urusan hak milik, Islam menjaga dan mengatur dengan bagus agar tidak ada penzaliman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO