Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
Tsumma inna rabbaka lilladziina haajaruu min ba’di maa futinuu tsumma jaahaduu washabaruu inna rabbaka min ba’dihaa laghafuurun rahiimun (110).
BACA JUGA:
- Tafsir Al-Anbiya' 48-50: Abu Bakar R.A., Khalifah yang Rela Habiskan Hartanya untuk Sedekah
- Tafsir Al-Anbiya' 48-50: Momen Nabi Musa Berkata Lembut dan Keras kepada Fir'aun
- Tafsir Al-Anbiya 48-50: Fir'aun Ngaku Tuhan, Tapi Tak Mampu Melawan Ajalnya Sendiri
- Tafsir Al-Anbiya' 41-43: Arnoud Van Doorn, Petinggi Partai Anti-Islam yang Justru Mualaf
Ayat studi ini dibuka dengan kata "tsumma", yang artinya "kemudian" atau "lalu" atau "selanjutnya". Tsumma, dalam bahasa arab disebut huruf "atahf" atau kata sambung. Ada varian terkait durasi waktu pada masing-masing huruf athaf. Gampangnya, kita pilah tiga: Fa, Tsumma dan Wa.
Jika pakai huruf "Fa", maka jarak waktu antara perbuatan, kejadian pertama dan kedua cukup dekat, bahkan berurutan dan langsung. Misalnya "Zarany Ahmad fa Ali", Ahmad nyambangi aku, (langsung) disusul Ali. Jarak dekat dan berurutan ini disebut faedah "Ta'qib Fawry". Jika menggunakan kata Tsumma, "Zarany Ahmad tsumma Ali", maka jarak kedatangan Ali agak lama setelah kedatangan Ahmad. Ini disebut "Ta'qib Tarakhy". Dan jika pakai Wa, "Zarany Ahmad wa Ali", maka keduanya terkesan datang bersamaan. Ini disebut faedah "jam'u", atau penggabungan.
Dari kata "tsumma" terbaca, bahwa pesan ayat kaji ini punya kaitan erat dengan ayat-ayat sebelumnya. Paling nyata adalah persoalan ikrah (intimidasi, pemaksaan) yang tertera pada ayat 106, di mana latar belakang historiknya menyangkut beberapa sahabat yang disiksa habis-habisan oleh orang-orang kafir pada awal Islam dilaunching. Mereka dipaksa meninggalkan Islam. Ada yang tegas menolak, meski nyawa melayang dan ada yang terpaksa menurut, tapi hanya lahiriahnya saja. Nah, mereka yang terpaksa menurut inilah yang menjadi persoalan, terkait pesan ayat studi.
Pesan ayat studi ini semacam peringatan, bahwa barang siapa yang berhijrah setelah difitnah, ditindas dan disiksa, lalu berjihad di jalan Allah dan bersabar, maka sesungguhnya Tuhan itu maha pengampun dan penyayang. Oleh para ulama', ayat ini difahami demikian:
Pertama, ayat ini sebagai nasikhah, merevisi pesan ayat 106 yang isinya membenarkan seorang muslim melakukan tindakan kekufuran saat dipaksa dan diancam nyawanya jika melawan. Jelasnya, tidak boleh menuruti. Solusinya harus berhijrah, meninggalkan tempat tinggalnya demi mengamankan keimanan. Dari pemahaman ini, alasan terpaksa melakukan kekufuran tidak dibenarkan lagi. Tidak boleh dituruti meskipun hanya pura-pura, meskipun hati tetap beriman. Andai mati karena melawan, maka itu lebih disukai Tuhan, mati dalam keadaan membawa iman, husnul khatimah dan surga tempatnya.
Pertimbangan lain adalah, bahwa orang-orang kafir itu tidak bisa dipercaya, baik perkataan, apalagi janjinya. Jangankan janji kepada sesama manusia, kepada Tuhan saja tidak mengindahkan, bahkan mendurhakai. Mereka sudah terbiasa mengingkari Tuhan, sehingga sangat mungkin janjinya diingkari setelah muslim yang dipaksa menuruti. Artinya, sama sekali tidak ada jaminan keselamatan setelah melakukan kekufuran. Maka, wajib memilih yang pasti, yaitu janji Allah SWT yang memberi surga bagi siapa saja yang menjaga iman, apapun risikonya.