Tafsir An-Nahl 106, Fiqih Ikrah: Ikrah Hakiki dan Ikrah Nisbi

Tafsir An-Nahl 106, Fiqih Ikrah: Ikrah Hakiki dan Ikrah Nisbi

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

BANGSAONLINE.com - Man kafara biallaahi min ba’di iimaanihi illaa man ukriha waqalbuhu muthma-innun bial-iimaani walaakin man syaraha bialkufri shadran fa’alayhim ghadhabun mina allaahi walahum ‘adzaabun ‘azhiimun (106).

Setelah menafsir ngalor-ngidul ayat studi ini (106), kini giliran fuqafha' melihat ayat tersebut dari perspektif hukum islam. Dari segi hasrat, tindakan seorang mukallaf itu dibagi dua, yakni ikhtiyary dan ijbary. Ikhtiyari itu pilihan, adalah perbuatan yang sengaja dilakukan atas dasar kemauan sendiri tanpa ada paksaan dari pihak luar. Sengaja berjual-beli, sengaja mencuri, berzina, memukul, memberi dan lain-ain. Maka punya konsekuensi, berupa pahala bagi perbuatan baik dan dosa atas perbuatan terlarang.

Sedangkan Ijbari adalah keterpaksaan. Yaitu perbuatan yang terpaksa dilakukan karena tekanan dari pihak luar. Perbuatan terpaksa ini lazim disebut "Ikarah". Tentu saja tidak punya konsekuensi apa-apa dalam hukum. Meski mengucapkan kata-kata kufur, jika itu benar-benar dipaksa, maka Tuhan tidak melihat perbuatan yang ada, melainkan melihat suara hatinya. Jika suara hati berontak dan tidak menyetujui apa yang dilakukan, maka tidak ada efek dosa apa-apa. Begitu pesan ayat studi yang dikuatkan fakta sabab nuzul.

Ulama' fiqih memperluas bahasan ayat ini dengan memaparkan persoalan seputar ikrah tersebut. Seperti jenis ikrah, persyaratan, termasuk pandangan para ahli. Dari sisi bobot, Ikrah dibagi dua. Ada ikrah haqiqi dan ada ikrah nisbi. Ikrah haqiqi (nyata) adalah tindakan memaksa yang disertai ancaman yang nyata. Ancaman itu bisa dibuktikan atau dipastikan terjadi, bila si al-Mukrah (yang dipaksa) tidak melakukan sesuai perintah al-Mukrih (yang memaksa).

Dari ikrah haqiqi ini ulama berselisish paham soal rumusannya, kapan ancaman itu bisa disebut pasti, sehingga ikrah telah memenuhi syarat sebagai berancaman seirus atau sekedar gertak saja. Umumnya fuqaha syafi'iyah cukup dengan dhann, dugaan kuat atau keyakinan, bahwa ancaman pasti serius. Seperti, pedang sudah diayun-ayunkan di hadapan mata, pistol sudah dikukang dan ditodongkan, tinggal "dor" saja. Walaupun belum dibacokkan atau belum di-dor-kan, sudah cukup dianggap sebagai ancaman.

Sebagian berpendapat tidak demikian, justru ancaman secara fisik harus sudah terbukti, sudah terjadi, sudah dimulai. Atau ada tindakan jahat pada awal mula. Artinya, tidak cukup sekadar celurit dikalungkan di leher, melainkan sudah digoreskan sedikit. Atau sudah dipukuli dulu sebelum ancaman lanjutan yang lebih fatal terjadi.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO