Tafsir Al-Nahl 71: Anggota DPR, Pantaskah Nyambi di Entertainment?

Tafsir Al-Nahl 71: Anggota DPR, Pantaskah Nyambi di Entertainment? ilustrasi

Karena ini soal kepantasan, soal kepatutan tentu debatebel. Bagi dia, tentu tidak apa-apa, tidak ada yang dilanggar, malah merakyat, bisa menjembatani antara wakil rakyat dan dunia entertainment dan sebagainya. Yang jelas, tambah penghasilan. Tapi bagi kaum moralis, agamawan, pendidik, pemerhati etika dan penjunjung tinggi akhlaq mulia tentu berbeda.

Sepatutnya wakil rakyat itu lebih mencerminkan kepribadiannya sebagai pejabat publik yang punya kharisma dan mengerti batasan hingga yang paling lembut, sementara tetap terbuka dan familier. Merakyat itu banyak cara dan tidak harus dengan ngamen di dunia entertainment dengan memandu acara jorok macam itu, acara yang tidak bermutu dan tidak banyak guyonan.

Silakan memandu acara di televisi, tapi yang pantas dengan jabatannya sebagai wakil rakyat, rakyat yang mayoritas beragama islam, rakyat yang menjunjung tinggi moralitas dan akhlaq mulia. Seperti memandu acara agama, acara kajian islam, bimbingan rumah tangga sakinah dan lain-lain. Meskipun waktu shoting bisa diatur dan tidak menggangu jam kerja, tapi karena setiap malam tampil dan lama sekali, maka tidak salah rakyat ngerasani, "kok setiap malam tampil, kapan rapatnya, memang tidak pernah ada sidang DPR di sore hari?. Apa dia suka bolos?. Apa gajinya kurang? Atau dia yang rakus dan tidak pernah puas?. Atau memang kurang serius mengemban amanat rakyat, tapi enggan melepas?. dan seterusnya.

Semua imej buruk ini sah, suara batin sebagian rakyat itu ada, kegalauan itu beralasan. Andai ada rasa tidak simpati kepada pribadinya juga masuk akal. Semua itu timbul bukan karena rakyat buruk hati, bukan karena perbedaan partai, bukan karena beda daerah pemilihan atau almamater lain, tapi murni dari kejanggalan-kejanggalan yang mengusik hati nurani.

Begitulah jika seseorang berulah tanpa sadar, tanpa mempertimbangkan stasus yang melekat pada dirinya. Selagi jabatan masih melekat pada diri seseorang, maka konsekuensinya harus dipatuhi. Tidak bisa lepas dan berdalih sebagai pribadi. Para sedulur di terminal pantas-pantas saja ngopi sambil main catur di trotoar sepi demi mengisi waktu. Tapi itu tidak pantas dilakukan seorang ustadz atau imam masjid atau pendeta. Dosa sih tidak, tapi tidak pantas. Andai ada ustadz yang nombrung di situ, pada awalnya pasti mereka menegur: "Ustadz, mohon tidak ikutan di sini, ya gimana gitu..". itulah suara hati yang bersih dan alami.

Semua ini sekedar aplikasi tafsir, sekedar pemaparan demi menggapai yang paling baik, sekedar menyuguhkan pesan ayat terkait historisitas. Semuanya berpulang kepada si DPR yang bersangkutan seperti Tuhan menyerahkan kembali kepada kesadaran ahli kitab dari nasrani Najran tersebut. Sadarkah mereka, sehingga menarik diri dan memperbaiki kekurangan, atau tetap terus menuruti nafsi.

Alkisah, para ahli kitab egois di atas tetap pada pendiriannya. Ya, karena menuruti nafsu itu lega, dan mempertahankan gensi itu kebanggaan. Meski begitu, tafsir ini berharap si DPR sadar diri. Mudah-mudahan ada pejabat partai politik asal si dia berangkat yang membaca tafsir ini dan menjadikankan bahan renungan untuk ke depan lebih maslahah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO