Politik Dramatis Fahri Hamzah, Gus Dur dan Kiai Hasyim Muzadi

Politik Dramatis Fahri Hamzah, Gus Dur dan Kiai Hasyim Muzadi

DRAMATIS. Itulah pemecatan Fahri Hamzah, wakil ketua DPR RI, oleh Partai Keadilan Sejahtera (). Ia ternyata bukan hanya dipecat dari keanggotaan . Lebih dari itu melarang kadernya berinteraksi dengan Fahri Hamzah. Bahkan Fahri Hamzah dikeluarkan dari group WA kader sehingga ia merasa didzalimi. Padahal, kata Fahri Hamzah, dulu ia berjuang untuk sampai berhadapan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Ia mengaku melawan KPK karena dapat "mandat" (perintah) partai tatkala Presiden LHI ditangkap KPK karena kasus korupsi sapi. Kini LHI dipenjara.

Peristiwa Fahri Hamzah ini jadi pelajaran penting bagi kita. Pertama, ternyata karakter kekuasaan di mana-mana sama. Tak pandang partai bahkan ormas keagamaan sekalipun. Partai dakwah, partai Islam, partai sekular, ormas keagamaan, ormas sekuler: karakternya sama. Saling bantai akibat kepentingan subyektif. Bahkan tak jarang kader-kader yang berjuang dan berjasa terhadap partai atau ormas malah jadi tumbal kekuasaan. ”Revolusi selalu memakan anak kandung sendiri,” demikian ungkapan populer menggambarkan betapa kejam “teman seperjuangan” ketika berkuasa.

Saya bukan simpatisan Fahri Hamzah. Bahkan dari sekian anggota DPR RI, bagi saya Fahri Hamzah, termasuk figur yang – maaf – paling tak saya sukai.

Kenapa? Subyektivitas politiknya sangat tinggi. Ia selalu penuh alibi dan sering tak masuk akal ketika membela kepentingannya, baik kepentingan pribadi maupun partainya.

Selain itu – ini yang penting – secara ideologi Fahri Hamzah berbeda secara diametral dengan saya.

Tapi dalam kasus pemecatan Fahri Hamzah yang sangat dramatis ini ternyata menginspirasi saya.

Sebagai mahasiswa komunikasi (S-1) dan ilmu politik (S-2) ditambah naluri sebagai wartawan, pikiran saya menerawang ke mana-mana. Terutama ingat saat KH Abdurrahman Wahid () bersama para kiai NU mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Saat itu mengangkat Matori Abdul Djalil sebagai ketua umum dan A Muhaimin Iskandar sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PKB. Kebijakan ini sebenarnya tak disepakati bulat para kiai. Kiai-kiai NU Jawa Tengah, misalnya, menolak Matori. Bahkan para kiai itu kemudian mengedarkan surat berstempel NU yang intinya menolak Matori sebagai ketua umum PKB karena tak sesuai aspirasi mereka.

Begitu juga Cak Imin. Banyak kiai dan pengurus NU tak sreg. Maklum, Cak Imin saat itu masih bau kencur. Ia baru selesai menjabat ketua umum PB PMII tapi sudah diberi jabatan sangat strategis: Sekjen.

Di kalangan NU muncul ledekan-ledekan terhadap Cak Imin. ”Kalau PAN punya sekjen Faisal Basri yang ekonom popular, PKB hanya punya Muhaimin,” kata para kader NU saat itu. Hampir semua partai yang berdiri pada 1998 - sebagai buah reformasi - memang dipimpin tokoh nasional dengan sekjen orang hebat dan popular.

Tapi pasang badan. Mantan ketua umum PBNU tiga periode itu membela habis Matori dan tetap “nyangking” Cak Imin. Saya sebut “nyangking” karena saat itu memang belum pas jadi sekjen. Jadi Cak Imin itu besar murni karena di-”cangking” , diakui atau tidak. Bahkan, Cak Imin sendiri mengakui ia hijrah ke Jakarta awalnya karena dipanggil . Jadi jasa terhadap Cak Imin luar biasa besar.

Namun – seperti kita ketahui bersama - perjalanan politik PKB akhirnya sangat dramatis. Lagi-lagi revolusi memakan anak kandungnya sendiri. Matori membelot dari .

Lihat juga video 'Sejumlah Pemuda di Pasuruan Dukung Muhaimin Maju Calon Presiden 2024':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO