
JAKARTA, BANGSAONLINE.com – Inilah penilaian publik terhadap kinerja pemerintahan Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka selama tujuh bulan pertama. Publik menilai bahwa selama tujuh bulan Indonesia di bawah pemerintahan Prabowo-Giban banyak pengangguran, cari kerja susah, harga-harga mahal dan PHK massif. Bahkan PHK tidak hanya menimpa para buruh tapi juga wartawan.
Target ekonomi yang dijanjikan Prabowo-Gibran juga tak sesuai harapan. Pertumbuhan ekonomi berkutat di bawah angka 5%. Padahal Prabowo selama ini secara agitatif menargetkan 8%.
Uniknya, meski kinerja Prabowo-Gibran angka merah, tapi publik mengaku puas. Setidaknya, inilah hasil survey Lembaga Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA.
"Jadi mereka yang menyatakan puas 81,2 persen, hanya 18,3 persen yang tidak puas," ujar Direktur KCI LSI Denny JA, Adjie Al Faraby dalam rilis secara virtual tentang hasil survey terbaru LSI Denny JA, Rabu (4/6/2025).
LSI mengakui terjadi paradoks luar biasa hasil survei kali ini. Maksudnya, meski kepuasan terhadap pemerintah tinggi, masyarakat merasa lapangan kerja susah hingga mengeluhkan harga sembako yang mahal.
"Tentunya sebagai secara awam, kita menilai bahwa ini adalah suatu paradoks yang luar biasa. Di satu sisi, publik merasakan langsung aspek-aspek yang sifatnya sangat mikro, terkait dengan lapangan kerja, kemudian sembako yang mahal," jelas Adjie Al Faraby.
Adjie Al Faraby kemudian mengungkap penyebab dua rapor merah yang menjadi alarm sosial untuk Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
“Ada empat alasan utama mengapa tekanan ini muncul dalam fase awal pemerintahan. Tahap awal implementasi, pertumbuhan ekonomi di bawah target, ekspektasi yang terlampau tinggi, dan gelombang PHK masif,” kata Adjie Alfaraby dalam rilis virtual yang digelar Rabu, 4 Juni 2025.
Menurut dia, temuan survei ini dilakukan LSI Denny JA pada 16–31 Mei 2025, dengan metode multi-stage random sampling terhadap 1.200 responden.
Adjie Al Faraby merinci bahwa banyak program unggulan seperti makan bergizi gratis (MBG), hilirisasi, Danantara dan Koperasi Merah Putih yang masih dalam tahap uji coba.
“Dampak nyatanya belum dirasakan publik. Ini program besar yang manfaatnya akan terasa tapi memerlukan waktu lebih panjang,” kata dia memprediksi.
Kedua, ungkap Adjie A Faraby, pertumbuhan ekonomi juga di bawah target. Di kuartal ini, kata Adjie, pertumbuhan ekonomi nasional tercatat di bawah 5%, terlalu lemah untuk menyerap tenaga kerja secara masif. “Dalam politik ekonomi, angka 5% adalah garis batas antara harapan dan kekhawatiran,” jelas dia.
Ketiga, ekspektasi yang terlampau tinggi. Menurut dia, terpilihnya Prabowo dengan dukungan besar memantik harapan rakyat yang menjulang. Namun, teori psikologi politik mengingatkan semakin tinggi harapan, semakin keras bunyi kecewa saat realitas belum menyusul.
Keempat, gelombang PHK masif. Kata Adjie, hanya dalam dua bulan pertama tahun ini (1 Januari-10 Maret), sebanyak 73.992 kasus PHK tercatat oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia. Di balik angka itu ada cerita anak putus sekolah, cicilan rumah macet, dan warung yang tak jadi buka.
“PHK tak hanya melanda buruh, industri hotel dan restoran, tapi juga pekerja intelektual seperti wartawan,” kata Adjie.
Namun demikian, Adjie menyampaikan alasan mengapa kepuasan tetap tinggi di tengah dua rapor merah Pemerintahan Prabowo-Gibran tersebut. Kata dia, paradoks ini menarik meski tekanan ekonomi dirasakan luas, tingkat kepuasan terhadap pemerintahan juga tetap tinggi.
Menurut Adjie, ada empat penjelasan untuk fenomena ini, di antaranya popularitas personal. Kata dia, Prabowo memiliki tingkat pengenalan publik sebesar 98% dan kesukaan 94,4%. Dalam komunikasi politik, citra pribadi kerap menjadi benteng kokoh terhadap kritik di awal masa pemerintahan.
“Kedua, efek honeymoon politik. Kata dia, 6 hingga 12 bulan pertama adalah fase bulan madu antara rakyat dan kekuasaan. Ini momen ketika optimisme menahan kegelisahan, dan publik masih memberi waktu,” ujarnya.
Ketiga, lanjut Adjie, persepsi arah yang benar. Sebanyak 81% responden merasa Indonesia sedang berada di jalur yang tepat. Meski hasil konkret belum tampak, arah yang dirasa benar memberi ruang harapan.
“Keempat, ketiadaan oposisi yang memikat. Hingga kini, belum muncul gagasan besar dari oposisi seperti PDIP atau Anies Baswedan yang mampu menyaingi narasi dominan pemerintah,” katanya lagi.
Survei ini memiliki margin of error ±2,9% dan diperkuat dengan riset kualitatif, wawancara mendalam, FGD, dan analisis media.