LGBT dan Kriminalisasi Tindakan Seksual dalam RKUHP

LGBT dan Kriminalisasi Tindakan Seksual dalam RKUHP Mahasiswa S1 Ilmu Hukum Unair, Kemal F Royadi.

Walaupun begitu, beberapa kelompok yang mendukung LGBT mulai menyuarakan aspirasinya di Indonesia dengan harapan bahwa masyarakat akan menerima mereka yang memiliki orientasi seksual lain selayaknya manusia normal lainnya. Dasar yang digunakan untuk menyuarakan pendapatnya adalah dengan menggunakan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Selain itu, pasal 420 ayat (1) RUU KUHP tersebut dinilai terlalu mencampuri urusan pribadi atau masalah keperdataan. Istilah yang lebih umum adalah “kriminalisasi atas tindakan seksual”, yakni orang yang berbuat tindakan seksual dapat dihukum.

Jika kita pikir lebih dalam, ada benarnya bahwa mereka tetaplah manusia dan memiliki hak-hak dasar yang sama seperti kita. Selain itu, kriminalisasi tindakan seksual juga dinilai sedikit bermasalah karena sejatinya, negara tidak perlu turun tangan untuk mengatur kehendak seksual masyarakatnya. Tindakan seksual, lebih-lebih hubungan intim, merupakan hubungan perdata dan seharusnya negara tidak perlu masuk sampai ke ranjang.

Alasan-alasan di atas sebenarnya masuk akal, akan tetapi tidak kemudian semuanya harus diterima. Perihal LGBT, tidak boleh jika hanya berdasarkan hak asasi kemudian hal tersebut bisa dilegalkan begitu saja. Ada banyak pertimbangan yang harus diperhatikan yang mana di antaranya adalah norma-norma yang berlaku di masyarakat.

Lagi pula, pasal tersebut seharusnya tidak perlu ditanggapi besar-besaran karena sudah semestinya sebuah hukum harus dapat diaplikasikan kepada siapa saja. Maka entah yang melakukan tindakan itu homo atau tidak, selama memenuhi unsur pasal tersebut, maka orang tersebut dapat dihukum.

Selain itu, cabul di sini tidak diartikan sebagaimana banyak orang mengira. Cabul diartikan sebagai tindakan yang tidak sesuai norma-norma dan berhubungan dengan nafsu birahi. Oleh karena itu, baik hubungan itu berdasarkan kesepakatan atau tidak, kesemuanya itu dapat dihukum karena hal tersebut dianggap telah melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat.

Dalam hal kriminalisasi tindakan seksual, pasal tersebut sebenarnya tidak mengandung unsur seperti itu. Secara mudah, perbuatan di atas hanya dapat dihukum jika memenuhi tiga kriteria yakni di depan umum, dengan kekerasan, atau dipublikasikan sebagai muatan . Dua di antaranya, yaitu di depan umum dan dipublikasikan sebagai muatan sebenarnya bukan lagi menyangkut dua orang saja akan tetapi lebih. Selain mengganggu masyarakat sekitar, hal tersebut tentunya melanggar norma-norma yang ada dan akhirnya patut untuk dihukum.

Maka dari itu, yang dihukum bukanlah karena hubungan intimnya, akan tetapi cara atau tindakan lanjutan yang diperbuatnya itu. Jika tidak disebarkan sebagai konten porno ataupun dilakukan di tempat yang tidak diketahui oleh umum, tetangga di sebelah pun belum tentu akan mengetahui perbuatannya itu sehingga tentu tidak akan dapat dihukum.

Sebagai konklusi, Pasal 420 ayat (1) RUU KUHP tersebut sudah sangat tepat apabila diberi unsur penjelas berupa siapa-siapa yang akan dihukum. Dengan unsur yang jelas itu, maka diharapkan ke depannya akan dapat memberikan efek jera bagi para pelaku tindakan seksual yang masih belum sesuai dengan kodrat manusia dan norma yang ada di masyarakat.

Di satu sisi, kriminalisasi atas tindakan seksual tidak dinyatakan dalam pasal ini oleh sebab memang hubungan intim adalah masalah perdata dan ini tetap diperhatikan oleh perancang undang-undang.

Namun bukan berarti masyarakat boleh berhubungan intim di luar perkawinan selama dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Perbuatan tersebut harus tetap dihindari dan diwaspadai dengan cara berpikir jernih sebelum kita bertindak, khususnya dalam hal ini ketika akan berhubungan intim di luar perkawinan.

Penulis merupakan Mahasiswa S1 Ilmu Hukum Unair

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO