Tafsir Al-Kahfi 61-64: Guru Mendatangi Murid atau Murid Mendatangi Guru

Tafsir Al-Kahfi 61-64: Guru Mendatangi Murid atau Murid Mendatangi Guru Ilustrasi guru berinisiatif mendatangi murid untuk kegiatan belajar mengajar di tengah pandemi Covid-19. (Antara Foto)

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

61. falammaa balaghaa majma’a baynihimaa nasiyaa huutahumaa faittakhadza sabiilahu fii albahri sarabaan

Maka ketika mereka sampai ke pertemuan dua laut itu, mereka lupa ikannya, lalu (ikan) itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.

62. falammaa jaawazaa qaala lifataahu aatinaa ghadaa-anaa laqad laqiinaa min safarinaa haadzaa nashabaan

Maka ketika mereka telah melewati (tempat itu), Musa berkata kepada pembantunya, “Bawalah kemari makanan kita; sungguh kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.”

63. qaala ara-ayta idz awaynaa ilaa alshshakhrati fa-innii nasiitu alhuuta wamaa ansaaniihu illaa alsysyaythaanu an adzkurahu waittakhadza sabiilahu fii albahri ‘ajabaan

Dia (pembantunya) menjawab, “Tahukah engkau ketika kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak ada yang membuat aku lupa untuk mengingatnya kecuali setan, dan (ikan) itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.”

64. qaala dzaalika maa kunnaa nabghi fairtaddaa ‘alaa aatsaarihimaa qashashaan

Dia (Musa) berkata, “Itulah (tempat) yang kita cari.” Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.

TAFSIR AKTUAL

Paparan ayat kaji di atas menunjukkan bahwa Musa A.S. yang mendatangi gurunya, nabiyullah Khadlir A.S. Apakah ayat ini satu-satunya dalil bahwa muridlah yang mesti sowan dan hadir ke tempat gurunya untuk menimba ilmu, bukan guru yang mendatangi murid?

Persoalan begini ini murni teknik belaka, bagaimana baiknya dan tidak mengikat, tidak pula untuk sok-sokan atau gengsi-gengsian. Ada dalil murid mendatangi guru dan ada sebaliknya.

Untuk yang pertama, selain ayat kaji di atas di Musa yang mendatangi Khadlir, juga ungkapan popular dari imam Malik ibn Anas ketika diminta khalifah Harun al-Rasyid agar berkenan datang ke istana untuk mengajari anak-anaknya, Al-Amin dan al-Makmun.

Imam mujtahid urutan kedua setelah Abu Hanifah itu menjawab: “al-ilm yu’ta wa la ya’ti”. Ilmu itu didatangi, bukan mendatangi. Sang Khalifah paham, lalu anaknya yang disuruh mendatangi rumah imam Malik.

Surah al-Akhqaf: 29 menguatkan cara pertama di atas, yaitu ada kawanan Jin datang ke majelis Rasulillah SAW untuk mengaji, menyimak secara saksama ayat-ayat al-qur’an yang turun. Lantas pulang dan mengajarkan apa yang dipahami kepada kaumnya di daerah. Begitu pula para sahabat yang datang ke masjid Nabi mendengarkan fatwa beliau.

Sedangkan dalil untuk cara kedua, di mana guru yang mendatangai murid adalah terbiasanya Rasulullah SAW mendatangi suku, masyarakat tertentu, kelompok tertentu, dan di sana mengajarkan Islam kepada mereka.

Suatu ketika beliau terjadwal untuk memberi ceramah pada suatu kabilah, waktunya setelah shalat Ashar. Di masjid itu, mereka sabar menunggu dan begitu beliau datang, mereka mendaulat Rasulullah SAW agar berkenan menjadi iman shalat: “Lho saya tadi sudah shalat ashar bersama para sahabat,” Jawab nabi. “Ya Rasulallah, tapi kami sangat gembira sekali bila bisa shalat bersama engkau, please”. Lalu Nabi menurut.

Di sini, fuqaha mengambil hukum, bahwa shalat lagi setelah mengerjakan shalat fardu yang sama itu boleh jika ada kemaslahatan yang lebih besar. Apa yang dilakukan Nabi ini memberi pelajaran, bahwa agama itu tidak kaku, meskipun shalat setelah shalat ashar, tapi karena dilakukan berjamaah, menjadi imam, melegakan umat, menarik simpati umat, maka dibolehkan. Ada hukum itu bersifat hitam-putih dan ada rana hukum yang abu-abu. Cerdas-cerdasnya kita yang menerjemah.

Begitu halnya para ulama tempo dulu, banyak sekali yang menjajakan ilmu kepada umat, menawarkan diri untuk mengajar. Imam Hamzah, salah satu imam tujuh bidang qiraat al-qur’an menghadiri masjid-masjid demi mengajar ulum al-qira’at dan nasihat agama.

Bahkan di Siria, dulu masih ada ahli al-qur’an yang tidak punya pondok pesantren menjajakan ilmu ke kampung-kampung: “qur’an qur’an, qur’an qur’an”, kayak jualan bakso. Itu terdorong oleh rasa tanggung jawab akademik yang tinggi. Tak perlu gengsi dan tak perlu malu. Ini ibadah. Bahkan imam al-Syafi’iy sampai petualangan ke Mesir (?).

Di samping ada Jin yang datang ke majelis Rasulullah SAW seperti dikisahkan di atas, juga ada riwayat bahwa nabi Muhammad SAW mendatangi komunitas Jin dan mengajar di sana.

Kisahnya, tiba-tiba Nabi SAW menghilang dari kerumunan sahabat, lalu mereka gelisah dan khawatir akan keselamatan beliau. Tak lama, beliau datang dengan pakaian basah kuyub dan mereka berkata: “kok basah semua ya Rasulallah, padahal tidak hujan”. Rasul SAW menjawab: “saya mengaji di kawanan jin, sahabat kalian, dan di sana sedang hujan”.

Dalil pamungkas adalah al-qur’an itu sendiri, di mana Gusti Allah SWT menyuruh nabi Musa A.S. dan nabi Harun A.S. agar mendatangi Fir’aun untuk menasihati. Ada perintah untuk Musa sendirian, “Idzhab ila Fir’aun innahu thagha“ (al-nazingat:17) dan ada perintah kepada keduanya: ”Idzhaba ila Fir’aun innahu thagha” (Thaha:43). Sebrengsek Fir’aun saja perlu didatangi dan Musa tidak gengsi.

Era pandemik begini, teknologi daring sungguh pilihan yang bermaslahah, mudah, dan murah, meskipun tidak melegakan. Webinar internasional bisa terlaksana dengan pembiacara berjauhan tanpa susah payah menyiapkan lokasi, akomodasi, konsumsi, dan lain-lain. Kiai, penceramah, bisa ngaji kepada umat dari rumah, tanpa harus membuat kerumunan. Itulah kemudahan yang diberikan Tuhan berupa teknologi.

Jika ada kiai, penceramah, ustadz, yang tidak mau datang ngaji menemui publik, malainkan umat yang harus berduyun-duyun datang ke tempatnya, itu sah-sah saja. Dalilnya sudah ada di atas tadi. Misalnya punya ruangan sendiri, sudah sepuh, dan pertimbangan lain. Dan mudah-mudahan ini bukan karena sok-sokan atau elite.

Soal apa yang dilakukan imam Malik ibn Anas itu karena pertimbangan privat, di mana sebaran ilmunya hanya dinikmati oleh segelintir anak saja. Tidak sama ketika ilmu itu bisa dinikmati orang banyak. Lagian, sebagai ulama’ besar, Malik harus menjaga martabatnya sebagai orang ‘alim dengan menghindari keluar masuk istana. Bagi kaum sufi, ulama yang terlalu dekat dengan penguasa itu aib, bisa menimbulkan fitnah dan mesti dihindari.

Guru besar Khadlir A.S. dengan sang murid “congkak”, Musa A.S. keduanya sama-sama utusan Tuhan, cuma beda kurikulum. Perbandingannnya satu banding satu, imbang. Maka pantas, yang harus mengalah adalah Musa, karena dia yang butuh menimba ilmu, sekaligus hukuman atas kecongkakannya, merasa pinter sedunia.

Teori komparasi yang berdasar pada maslahah, sungguh lebih ringan satu orang mendatangi orang banyak dari pada orang banyak mendatangi satu orang, apalagi jaraknya jauh. Maka kiai yang mendatangi majelis pengajian di luar rumah adalah cerminan pribadi rahmah li al-alamin. Sementara kiai yang maunya disowani terus, mudah-mudah Allah memberkahi, mudah-mudahan tidak terindikasikan aroma hobi dikultuskan.

Sekali lagi, ini hanya soal teknik belaka dan bukan dasar nash yang paten. Ya, dulu memang orangnya yang mendatangi sumber air. Tapi sekarang, airnya yang mendatangi rumah orang. Barakallah fikum. 

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO