Gus Sholah, KKNU dan Stigmatisasi Neo Khawarij NU

Gus Sholah, KKNU dan Stigmatisasi Neo Khawarij NU M Mas'ud Adnan. Foto: bangsaonline.com

Dalam setiap pertemuan, Gus Sholah selalu membahas bagaimana memupus sikap pragmatisme di , terutama money politics dan keterlibatan dalam politik praktis. kadang memberi contoh keikhlasan para pengurus Muslimat .

“Kalau diundang rapat, para pengurusnya tanpa uang transport. Pakai uang pribadi sendiri-sendiri,” kata . Ia tahu banyak budaya Muslimat , karena Nyai Farida Salahuddin Wahid, istri Gus Solah, pengurus Muslimat Pusat.

Pertemuan dengan para kiai terus berlangsung. Tapi ketika menjelang pemilihan gubernur (pilgub) Jawa Timur, Gus Sholah minta acara silaturahim ke pesantren itu dihentikan sementara. Gus Sholah khawatir gerakan moral itu dikira untuk kepentingan pilgub. Apalagi dalam pilgub itu mendukung Khofifah Indar Parawansa.

Begitu Khofifah menang melawan Saifullah Yusuf (Gus Ipul), gerakan moral dimulai lagi. Tapi tak lama berselang, datang Pemilihan Presiden (Pilpres). Berbeda dengan pilgub yang mendukung Khofifah, menyatakan netral dalam Pilpres.

Sikap netral itu justru disalahpahami. dikira mendukung Capres Prabowo Subianto. Maklum, para kiai yang tergabung dalam tim Khofifah saat Pilgub - seperti Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, KH Afifudddin Muhajir, dan kiai yang lain - all out mendukung Capres Joko Widodo dalam pilpres. Bahkan mendirikan Jaringan Kiai Santri Nasional (JKSN).

Untung para kiai barisan Khofifah itu paham. Tak satu pun mereka mempersoalkan sikap netral dalam Pilpres. Mereka paham tentang moral dan integritas . Artinya, kalau bilang netral, berarti benar-benar netral. Karena itu, para kiai barisan Khofifah yang mendukung Jokowi tetap berkomunikasi secara baik dengan , termasuk Khofifah. 

Saat itulah para kiai pendukung Prabowo merapat pada . Antara lain: Prof Ahmad Zahro, KH Agus Solachul Aam Wahib Wahab (Gus Aam), Choirul Anam (Cak Anam), KH Suyuti Toha, KH Lutfi  Bashori. Yang disebut terakhir ini garis lurus.

minta saya datang. Tapi – terus terang – saya mulai tak nyaman. Apalagi ketika pertemuan di Ndalem Kasepuhan Teburieng, aroma Prabowo benar-benar merebak. Forum mulai terasa tidak sehat. Padahal Gus Sholah ingin forum itu benar-benar netral. Seingat saya, saat itu forum belum diberi nama.

Tapi saya tetap ikut. Bahkan saya diminta bicara. Saya bicara agak terakhir setelah dipaksa oleh teman-teman barisan . Intinya saya mengatakan, bagaimana kita bisa bicara khitah , kalau isi pembicaraan dalam KK ini masalah pilpres. 

Saya juga menyikapi secara sarkastis terhadap para tokoh dan kiai yang mau menggiring gerakan moral kultural itu ke Pilpres. “Ada tiga orang yang kehilangan akal sehat,” kata saya saat itu. Puluhan kiai yang memenuhi ruangan Ndalem Kasepuhan Tebuireng memperhatikan saya.

“Pertama, orang yang lagi jatuh cinta. Kedua, orang gila. Ketiga, pendukung capres,” kata saya. Peserta yang netral tertawa. Sedang pendukung Prabowo cemberut.

menyadari bahwa forum sudah tak netral. Karena itu Gus Sholah minta saya aktif mengikuti pertemuan itu. Maksudnya, agar gerakan moral itu tetap terjaga, netral, tak didominasi kelompok pro Prabowo. “Harus diperbanyak peserta dari kubu Jokowi agar imbang,” kata kepada saya.

memang tak mendukung Prabowo. Juga tak mendukung Jokowi. Saat itu yang dipikir hanya . Sikap ini kian jelas ketika menjelaskan kepada saya tentang pemilihan ketua umum PB dalam Muktamar mendatang.

Menurut , pemilihan ketua umum PB tak bisa lepas dari keterlibatan pihak Istana. Dan dari dua capres itu (Jokowi dan Prabowo), kata , tak ada yang bisa diharapkan untuk memperbaiki . “Kalau Jokowi yang terpilih ya tetap seperti sekarang, tapi kalau kita pilih Prabowo terlalu mahal harganya untuk ,” kata . Maksudnya, karena pendukung Prabowo adalah kelompok Islam aliran keras.

Karena itu - sekali lagi - Gus Sholah memilih netral. Yang dipikirkan Gus Sholah hanya bebas dari money politics dan politik praktis. ingin tiga tujuan tercapai. Pertama, ajaran Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) Annahdliyah, terutama sesuai pemikiran Hadratussyaikh, terjaga dan berkembang.

Kedua, warga meningkat secara ekonomi, intelektual, dan moral. Ketiga, pesantren berkembang dan maju berkat kepedulian .

Nah, kita kembali pada tulisan Kiai Imam Jazuli. Pantaskah, gerakan moral dan para kiai – termasuk Kiai Afifuddin dan Kiai Azaim Ibrahimy – itu dicap sebagai Neo Khawarij ? Tepatkah kita, menjuluki para kiai – terutama , Kiai Afifuddin, Kiai Azaim Ibrahimy dan kiai lain – sebagai kelompok Neo Khawarij hanya karena mereka berbeda pendapat dan kritis kepada PB?

Terbayangkah, bagaimana perasaan para santri dan alumni pesantren mereka ketika para kiai panutannya dicap Neo Khawarij ? Bagaimana dengan para kiai yang tak sejalan dengan PB tapi diam tak bersuara karena merasa sudah terwakili gerakan dan para kiai?

Karena itu saya menilai tulisan Kiai Imam Jazuli itu hiperbolik, lebay, dan tidak didasarkan pada data dan informasi valid dan akurat. Buktinya, Kiai Imam Jazuli menyebut bahwa mereka adalah “segelintir kiai mengatasnamakan garis lurus dan berubah wujud menjadi Komite Khitah 1926”.

Ini jelas tak masuk akal, baik secara logika maupun fakta. Bagamana mungkin Kiai Afifuddin Muhajir yang kini tercatat sebagai Rais Syuriah PB dikategoikan garis lurus. Dari mana nalarnya, dan Kiai Azaim distigma sebagai garis lurus.

Saya menilai bahwa Kiai Imam Jazuli telah terperangkap pada sikap dan pemikiran politik “sektarian” dalam kerangka mikro . Ini tentu sangat bahaya, karena memandang sesama kader yang berbeda pandangan sebagai musuh.

Menjustifikasi para kiai yang beda pendapat dengan stigma Neo Khawarij sangat tidak pantas dan tidak elok, karena Khawarij identik dengan aksi kekerasan dan kekejaman. Sejak kapan jadi eksklusif, tidak memberi ruang berbeda pendapat dan munculnya kritik?

Yang juga perlu dipahami, pandangan dan sepak terjang Prof Dr Rochmat Wahab dan KH Agus Solachul Aam Wahib Wahab (Gus Aam) tidak otomatis identik gerakan moral . Apalagi ketika Gus Aam mengklaim KK sebagai ormas berbadan hukum setara PB dan anjangsana ke Petamburan mendukung Habib Rizieq Shihab.

Sikap tegas. Gerakan moral tak perlu dilembagakan. Bahwa setelah wafat ada orang yang menyelewengkan gerakan moral berubah menjadi gerakan politik, tentu di luar cita-cita Gus Sholah. Karena itu wajar, jika Kiai Azaim Ibrahmy, Kiai Nashihin Hasan, Gus Ahid,  dan tokoh-tokoh lain memberi pernyataan tertulis bahwa mereka menolak masuk dalam kepengurusan KK.

Jadi - sekali lagi - gerakan moral dan kultural tak perlu dilembagakan. Wallahua’lam bisshawab. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Gila NU dan Orang NU Gila, Anekdot Gus Dur Edisi Ramadan (16)':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO