Dikenal Mistis, Wayang Gandrung Tampil Hanya Waktu-waktu Tertentu, ke mana-mana Harus Dipikul

Dikenal Mistis, Wayang Gandrung Tampil Hanya Waktu-waktu Tertentu, ke mana-mana Harus Dipikul Kotak wayang yang harus dipikul ke manapun akan digelar. (foto: MUJI HARJITA/ BANGSAONLINE)

KEDIRI, BANGSAONLINE.com - Wayang Gandrung adalah wayang cinta. Diyakini sebagai wayang asli Kediri. Wayang Gandrung bagi orang Kediri dan sekitarnya dianggap wayang mistis. Karena selalu dijamas dan hanya ditampilkan di bulan Suro atau kepentingan lain. Misalnya bagi mereka yang punya ujar (nazar).

Demikian disampaikan Joko Koentono, Pemerhati Wayang Gandrung dari Desa Puhsarang, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Menurutnya, Wayang Gandrung sangat unik. Saking uniknya, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia di era SBY, Jero Wacik, pernah memberikan penghargaan khusus kepada Mbah Kandar (almarhum) sang dalang, sebagai maestro seni tradisional.

Joko menceritakan beberapa keunikan yang berhasil ditelusuri berdasarkan penuturan ahli warisnya. Antara lain, wayang ini terlahir dari bongkahan kayu jati yang hanyut dan terdampar di sungai pada saat terjadi banjir di daerah Pagung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri sekitar abad 17.

Seperti dituturkan secara turun temurun oleh Lamidi (60), sang pewaris ketujuh Wayang Gandrung dari kakek buyutnya, Ki Demang Proyosono. Kayu jati yang terdampar itu dibelah oleh orang misterius, setelah penduduk Pagung gagal membelahnya.

Sementara Ki Abdul Akad (62), dalang generasi ke-9, kepada BANGSAONLINE.com menjelaskan, pertunjukkan Wayang Mbah Gandrung selalu digelar di Balai Desa Pagung, Kecamatan Semen. Tepatnya dekat dengan penyimpanan Wayang Gandrung yang berada di belakang Balai Desa Pagung. Waktunya setiap bulan Suro atau Muharram dalam kalender Islam.

(Ki Abdul Akad)

Menurut Akad, pertunjukan Wayang Gandrung ini bisa juga digelar bila ada warga yang "nanggap". Misalnya untuk ruwatan atau orang yang nazar. "Wayang Mbah Gandrung baru saja digelar atas permintaan Sudjoko warga Desa Pagung Kecamatan Semen Kabupaten Kediri. Karena Sudjoko pernah nazar atau berujar, bila anaknya sembuh dari sakit keras, maka akan menggelar Wayang Mbah Gandrung ini," kata Abdul Akad, usai mendalang di rumah salah seorang warga di Desa Pagung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Selasa (4/8).

Menurut Akad, dirinya bisa menggelar pertunjukan ke mana saja, asalkan masih bisa dijangkau dengan jalan kaki. Sebab, mulai wayang, kenong, gong, rebab, kendang, gambang, harus dipikul atau diangkut dengan jalan kaki.

Jalan kaki dipilih, lantaran apabila dibawa menggunakan atau gerobak, selalu ditimpa musibah. Suatu ketika peralatan pentas pagelaran wayang diangkut dengan gerobak, gerobaknya tidak bisa jalan. Demikian pula ketika diangkut mobil, mobil itu pun mogok.

Adapun untuk penentuan alur cerita dalam pagelaran wayang, lanjut Akad, dirinya sebagai dalang tidak memiliki otoritas menentukan lakon. Semua hanya berdasarkan wangsit yang diterimanya, setelah dirinya melakukan laku ritual.

"Sebelum pegelaran Wayang Mbah Gandrung ini, saya berdoa dulu, minta petunjuk kepada Yang Maha Kuasa," terang Akad.

(Ki Abdul Akad saat mendalang)

Kata Akad, lakon dalam setiap pementasan Wayang Mbah Gandrung selalu berubah-ubah sesuai wangsit. Beberapa lakon tersebut antara lain Barong Skeder, Bagawan Mintuno, Kuda Sembrani, Panji Asmoro Bangun, dan lain sebagainya.

Ia menambahkan, bahwa Wayang Gandrung bukan sekadar seni. Sebab, banyak mengandung ajaran moral yang bisa diterapkan dalam kehidupan normal biasa. Ajaran moral Wayang Gandrung bisa dikupas secara sederhana dari kata Gandrung itu sendiri.

"Gandrung dalam bahasa Jawa berarti senang, cinta, atau suka. Orang yang mengalami gandrung bisa saja seperti orang yang lupa akan hal lain, kecuali satu hal. Yakni yang dicintainya. Hal yang dicintai itu bisa seseorang, sesuatu, ataupun perilaku kehidupan yang baik di dunia ini," ujar Akad. (uji/rev)

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO