Tafsir Al-Kahfi 19-20: Panduan Mu'amalah dari Kisah Goa

Tafsir Al-Kahfi 19-20: Panduan Mu Ilustrasi shopping.

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

19. Wakadzaalika ba’atsnaahum liyatasaa-aluu baynahum qaala qaa-ilun minhum kam labitstum qaaluu labitsnaa yawman aw ba’dha yawmin qaaluu rabbukum a’lamu bimaa labitstum faib’atsuu ahadakum biwariqikum haadzihi ilaa almadiinati falyanzhur ayyuhaa azkaa tha’aaman falya/tikum birizqin minhu walyatalaththhaf walaa yusy’iranna bikum ahadaan.

Dan demikianlah Kami bangunkan mereka, agar di antara mereka saling bertanya. Salah seorang di antara mereka berkata, “Sudah berapa lama kamu berada (di sini)?” Mereka menjawab, “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari.” Berkata (yang lain lagi), “Tuhanmu lebih mengetahui berapa lama kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, dan bawalah sebagian makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan jangan sekali-kali menceritakan halmu kepada siapa pun.

20. Innahum in yazhharuu ‘alaykum yarjumuukum aw yu’iiduukum fii millatihim walan tuflihuu idzan abadaan

Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempari kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya.”

TAFSIR AKTUAL

Pelajaran kedua dari kisah ashabul kahfi pada ayat 19-20 adalah mengembalikan persoalan kepada Allah SWT, setelah berusaha semaksimal mungkin. "Rabbukum a'lam bima labitstum". Utamanya masalah yang kita tidak mengerti kepastiannya, hanya kira-kira dan menerka-nerka saja. Mereka menghindari debat kusir yang tidak bermanfaat dan membuang-buang energi.

Perkaranya adalah berapa lama mereka tidur? Setelah berdiskusi sesuai pandangan dan argumen masing-masing, mereka sepakat dalam dua jawaban, yakni: sehari atau setengah hari. Karena ada anomali-anomali yang melawan pemikiran mereka, seperti kondisi alam sekitar yang berubah banyak, maka mereka bimbang.

Ya, hanya bisa bimbang tanpa punya penyelesaian. Inilah hebatnya, mereka segera mengembalikan urusan kepada Tuhan yang Mahamengerti. Meski sementara tetap pada pendirian masing-masing, tapi mereka tidak berlaku mutlak akan kebenaran pendapatnya. Ada sandaran pendapat yang maha tinggi dan pasti benar, yaitu pandangan Allah SWT.

Apa yang dilakukan ashabul kahfi ini hanyalah masalah alamiah belaka yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan keimanan, halal atau haram, pahala atau dosa. Tapi begitu cepat mengembalikannya kepada Tuhan, sehingga Tuhan menjadi rujukan utama. Dan seharusnya seorang mukmin seperti itu, apalagi bila persoalan menyangkut agama, maka seharusnya Tuhan yang jadi rujukan, bukan akal, bukan tradisi, dan bukan nafsu.

Misalnya soal jilbab, menutup aurat, menutup kepala bagi wanita muslimah. Masalah nash sudah sangat jelas. Tidak perlu tafsir, bahkan orang awam bisa paham. Tapi menjadi ruwet ketika akal berkolaborasi dengan nafsu. Nafsu menghendaki tidak ribet dan tampil lebih seksi tanpa jilbab. Lalu akal mencarikan jalan agar hukum berjilbab tidak wajib. Maka dipersoalkan, apakah berjilbab itu perintah agama atau tradisi wanita arab?

Bagi wanita yang imannya mapan, taqwaannya tinggi, dan sangat memburu ridla Allah, maka dia patuh begitu saja terhadap perintah Allah SWT tanpa rewel. Sedangkan bagi wanita yang tidak memproyeksikan ridla Allah, masih hobi menuruti nafsu, maka cari-cari akal demi menghindar dari hukum Allah. Hanya iman yang bisa menerima perintah Allah. Debat, sampai nyonyor pun tidak akan ada penyelesaian.

Ketiga, "fa ib'atsu ahadakum bi wariqikum hadzihi ila al-madinah..". Mengutus salah seorang di antara mereka agar keluar bawa uang untuk membeli makanan di desa terdekat. Ayat ini menunjukkan bolehnya akad wakalah, perwakilan dalam transaksi atau jual beli. Yaitu menunjuk seseorang untuk mewakili melakukan transaksi tertentu.

Dan al-Wakil, orang yang diamanati menjadi wakil tadi sifatnya ma'mun, pada dasarnya bisa dan harus dipercaya. Artinya, jika terjadi sengketa antara wakil (yang ditugasi) dan muwakkil (orang yang menugasi), maka kata-kata al-wakil harus dijadikan rujukan utama. Kecuali ada bukti. Cara perwakilan ini (wakalah) lazim dipakai dalam transaksi syri'ah. Maka beda dengan bank konvensional.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO