Sempat Dicibir Tetangga, Lailatul Qomariyah Anak Tukang Becak Raih Gelar Doktor di ITS

Sempat Dicibir Tetangga, Lailatul Qomariyah Anak Tukang Becak Raih Gelar Doktor di ITS Lailatul Qomariyah foto bersama keluarganya usai diwisuda.

PAMEKASAN, BANGSAONLINE.com - Lailatul Qomariyah (27 tahun) yang meraih gelar Doktor di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, ternyata hanya anak dari seorang tukang becak tukang becak. Lailatul Qomariyah merupakan putri dari pasangan Saningrat (43) dan Rusmiati (40), warga Dusun Jinangka, Desa Teja Timur, Kecamatan , Kabupaten .

Saningrat sehari-harinya berprofesi sebagai tukang becak. Sedangkan istrinya hanya sebagai buruh tani saat musim tanam. Keduanya menceritakan bagaimana ia bisa menyekolahkan anaknya sampai menempuh pendidikan sampai S3.

Menurutnya, Lailatul Qomariyah memang anak yang cerdas sejak di bangku SD. Padahal Saningrat mengaku tidak pernah memberikan pendidikan khusus kepada anaknya.

"Bagaimana ia bisa mengikuti les di luar sekolah, wong saya bekerja sebagai penarik becak dan istri saya menjadi buruh tani," ujar Saningrat yang sangat menyanyangi putrinya tersebut.

Saningrat melanjutkan ceritanya bahwa, sejak SD, Lailatul terus-menerus mendapat ranking 1. "Setelah lulus SD, ia diterima dan masuk ke SMPN 4 ," ujarnya saat ditemui sedang menunggu penumpang di becaknya, Selasa (10/09/19) siang.

(Bapak dari Doktor Lailatul Qomariyah, Saningrat saat ditemui sedang menunggu penumpang dengan becaknya)

Bahkan selama duduk di bangku SMP, Lailatul yang lahir pada 16 Agustus 1992 selalu meraih ranking 1 di sekolahnya. Hingga akhirnya dia diterima di SMAN 1 dengan meraih beasiswa.

Lailatul yang setiap harinya berangkat ke sekolah memakai sepeda ontel juga selalu menjadi langganan juara 1 di SMA 1 . "Karena dia memang kutu buku dan selalu mengikuti les seminggu 2 kali. Saya sendiri tidak tahu dapat dari mana uang untuk les tersebut," jelas Saningrat yang tidak mengira anaknya bisa sampai S3 tersebut.

Setelah lulus SMA, Lailatul langsung ditawari masuk dua perguruan tinggi terkemuka di Surabaya. "Lailatul saat itu diterima di Unair Surabaya dan di ITS Surabaya. Tapi pilihannya jatuh ke ITS," tutur Saningrat.

Saningrat mengaku ia sempat membujuk Lailatul agar memilih kuliah di saja. Pertimbangannya, karena Lailatul anak perempuan dan Saningrat sendiri menganggap dirinya tidak akan mampu membiayainya.

Saat pertama kali Lailatul masuk kuliah, Saningrat juga mengaku sering mendapat cibiran dari warga, bahwa dirinya tidak akan mampu membiayai pendidikan anaknya karena hanya seorang tukang becak.

Namun, Lailatul sendiri sudah bulat tekadnya untuk tetap melanjutkan pendidikan ke ITS. Ia menutup telinga dari cibiran para tetangga. "Bapak dan ibu tidak perlu khawatir soal biaya kuliah saya. Semoga saya mendapatkan rezeki sampai lulus," tutur Saningrat, mengenang kata-kata anaknya ketika hendak berangkat ke Surabaya.

Setelah Lailatul Qomariyah dinyatakan lulus sebagai mahasiswa baru di ITS, Saningrat dipanggil untuk datang ke kampus ITS. Saningrat datang dengan baju seadanya dan bersandal jepit. Untuk menemukan anaknya, Saningrat berkeliling kampus ITS kurang lebih satu jam lebih karena tidak tahu di mana ruangan yang harus dituju. Beruntung ada satpam yang mengarahkan Saningrat ke ruang kuliah Fakutas Teknologi Industri.

"Ketika saya mau masuk ke ruang pertemuan anak saya, saya lihat orangtua dan mahasiswa yang lain turun dari mobil pribadi semua dan berdasi, sedangkan saya hanya bersandal jepit. Tapi anak saya tidak minder dan mengajak saya masuk ke dalam ruangan," kata Saningrat.

Selama menempuh pendidikan S1, Saningrat dan istrinya tidak pernah dimintai biaya kuliah dan biaya hidup oleh Lailatul. Dia sudah hidup mandiri di Surabaya dengan mengisi les privat dari rumah ke rumah. Dari setiap anak, Lailatul mendapat honor Rp 800.000. Dari pendapatannya itu, Lailatul masih sempat mengirimkan uang ke orangtua, terutama ketika ayahnya butuh uang untuk modal bertani di musim tembakau.

"Seingat saya, saya hanya mengeluarkan biaya Rp 10 juta untuk beli motor dan Rp 6 juta untuk beli laptop Lailatul. Selain itu, saya lebih sering dikirimi uang oleh Laila untuk modal bertani," kata dia.

Lailatul Qomariyah sendiri menuturkan tidak pernah merasa minder karena berlatar belakang anak seorang tukang becak. Meskipun setiap hari dirinya naik sepeda ontel sejauh 5 km dari tempat kos ke kampusnya, hal itu tidak mengurangi semangat untuk meraih prestasi gemilang hingga lulus doktor dengan IPK 4.0.

"Saya anak orang miskin, tapi saya tidak minder. Yang saya butuhkan adalah semangat orangtua, doa orangtua, dan kesabaran orangtua," ungkap Lailatul saat diwawancarai via telepon seluler karena masih berada di Surabaya. (err/lan)

Lihat juga video 'SMPN 1 Kertosono Launching Digitalisasi Sekolah':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO