Tafsir Al-Isra’ 36: Sejatinya Menyanyi, Cuma Promonya Shalawatan

Tafsir Al-Isra’ 36: Sejatinya Menyanyi, Cuma Promonya Shalawatan Ilustrasi

Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag

36. Walaa taqfu maa laysa laka bihi ‘ilmun inna alssam’a waalbashara waalfu-aada kullu ulaa-ika kaana ‘anhu mas-uulaan

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.

“ ... kullu ulaa-ika kaana ‘anhu mas-uulaa”. Bahwa telinga, mata, hati dan semua anggota badan akan diadili nanti, ditanya dan harus dipertanggugjawabkan. Bisa diterka bentuk pertanyaan Tuhan terhadap pendengaran, kira-kira begini:” Hai telinga, selama di dunia kamu dipakai mendengarkan apa saja?

Dengan sangat jujur telinga memberi pengakuan, kami lebih sering dipakai mendengarkan musik, menguping orang bicara, mendengarkan bacaan al-qur’an dsb. Begitu pula penglihatan, banyak mana mata ini dipakai melihat mushaf al-qur’an atau melihat layar TV, HP, dll. Hati, banyak mana dipakai berdzikir, bermunajah, atau liar ke mana-mana?

Mulut, untuk dzikir, baca al-Qur’an, shalawatan, menyanyi atau menyanyi dengan lirik shalawat? Maksudnya: sejatinya menyanyi, cuma dalihnya membaca shalawat. Yakni: bermusik, bernyanyinya lebih dominan ketimbang jiwa hudlurnya di hadapan Rasulullah SAW. Sebab, orang yang jiwanya benar-benar hadir di hadapan Rasulullah SAW pasti khusyu’ dan tidak akan sanggup memainkan alat musik.

Diillustrasikan seperti ini, bahwa Utsman ibn Affan pernah ditanya: ”apa tuan pernah senang atau bangga terhadap amal perbuatan yang pernah tuan lakukan? Karena dialog tertutup dan pribadi, meski berat, Utsman mau membuka rahasia hatinya: "Ya, sejak aku kenal al-Qur’an, alhamdu lillah – aku tidak pernah menyanyi”.

Pernyataan sahabat Utsman ini menunjukkan kejujurannya, betapa asyik menyanyi atau mendengarkan musik itu menyedot total perhatian sehingga tidak heran bila kehadiran Allah SWT terkesampingan. Sekelas Jalaluddin al-Rumy saja masih sambat-sambat dalam menghadairkan Tuhan.

Benar, bahwa al-Rumy bermusik, tarian, tapi sekilas sebagai pengantar suluk dan cepat-cepat ditinggalkan. Benar, bahwa ada wali pakai seni, musik, gamelan, tapi hanya antaran berdakwah, lalu ditinggalkan. Bukan untuk show dan mencari mata pencaharian ke sana kemari.

Rasakan sendiri soal orang yang bershalawat dalam musik. Mana yang paling mengasyikkan: ”Shalawatnya atau musiknya?”. Jika shalawatnya lebih dominan memenuhi qalbu, maka dia bershalawat. Tapi jika musiknya yang dominan, maka sejatinya dia bernyanyi, meski promonya bershalawat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO