Sumamburat: Pilkada Tanpa Banjir

Sumamburat: Pilkada Tanpa Banjir Suparto Wijoyo.

Oleh: Suparto Wijoyo*

TAHUN politik ini seperti sedang mempertontonkan “tubuh publik yang sakit”. Parade orang gila yang mampu membentuk formasi persekusi kiai dipamer tanpa ragu. Episode tragedI “ninja Banyuwangi 1998” sepertinya hendak disulam menjadi “warna” penanda adanya perebutan kekuasaan. Atau itu menjadi titik jedah agar semua istirah betapa rezim ini dituntut sigap dalam menjaga ketertiban umum sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah adalah amanat konstitusi yang tidak boleh dikhianati. Belum lagi urusan orgil dientas dengan tuntas, muncul fenomena “sepak bola Piala Presiden” yang menegasikan Gubernur DKI Jakarta untuk selanjutnya“tradisi banjir”. Tradisi yang muncul di sepanjang aliran sungai, termasuk di Pasuruan berupa derita luapan bah yang bersinambung denganJombang.

Jalur Probolinggo-Pasuruan lumpuh 8jam. Begitu ragam berita yang tersaji di belantara media pekan lalu. Bojonegoro, Lamongan, Tuban maupun Gresik juga “menikmatinya”. Pilkada menjadi mengingatkan kembali tentang banjir yang menjadi “festival tahunan” di Pasuruan. Kondisi ini nyaris setarikan nafas dengan fenomena banjir di Jakarta sebagai akibat terjauh dari gundulnya hutan di kawasan Puncak, Bogor. Memang banjir, kemacetan, dan ketimpangan distribusi pendapatan serta mencuatnya disparitas pembangunan yang menghasilkan kantong kemiskinan baru, mustilah dicarikan solusi. Bahkan dalam berbagai riset internasional terinformasikan bahwa pencemaran udara di Jakarta berebut posisi untuk menjadi “juara umum” dengan Bombay, New Delhi, maupun Mexico City. Jakarta dalam dasawarsa terakhir ini berkutat sebagai salah satu dari delapan megacities yangkualitas udaranya turut menentukan kelabunya langit cekungan pasifik (Pacific Rim).

Semarak pilkada sejatinya semakin menyembulkan gelisa secara ekologis dikala kita disuguhi bencana banjir di banyak daerah. Banjir bukanlah sebab dari permasalahan perkotaan, melainkan akibat saja dari penyalahgunaan ruangyang terhampar. Semua itu pelajaran bagi pemimpin agar peduli pada lingkungan. Siapa mengabaikan lingkungan dia akan memanennya. Secara filsafati (natural philosophy), bencana banjir itu tidaklah ada dan muncul tiba-tiba, karena alam tidak mungkin membuat bencana. Alam hanya menyesuaikan dirinya atas laku manusia yang lalim, terutama kelaliman yang menggunakan kebijakan yang tidak environmental friendly. Bukankah dalam kita suci keagamaan (Islam) sudah dititahkan bahwa kerusakan di darat dan di laut itu akibat ulah manusia (Alquran, Ar-Rum ayat 41-42). Pemimpin pun dihadirkan dengan dipilih oleh rakyat tanpa merusak lingkungan atau menyalahgunakan ruang dengan rembuk kelembagaan negara yang menghasilkan kebijakan berupa regulasi nasional dan daerah (dalam permusyawaratan/perwakilan) seperti yang diajarkan dasar negara Pancasila.

Seluruh pengamal Pancasila mengerti bahwa hujan itu nikmat dan anugrah, bukan laknat dan prahara. Kenapa di musim penghujan, banjir hadir dengan menyuguhkan duka, merusak infrastruktur transportasi, dan gagalnya panen petani, sehingga menimbulkan sesal yang mengurangi rasa syukur atas karunia iklim tropis yang dibentangkan Tuhan. Problematika jalan berlubang sambung menyambung menjadi satu jalinan yang mengganggu kepentingan umum. Lantas apa yang dilakukan oleh pemegang otoritas negeri ini?

Rusaknya jalan yang setiap hari diberitakan sungguh suatu realita yang membawa nestapa, menyembulkan derita yang berada di luar proyeksi pengambil kebijakan. Tingginya tingkat curah hujan selalu menjadi alasan. Penyelenggara negara musti paham bahwa penyebab utama banjir dan kerusakan jalan bukanlah air hujan, melainkan buruknya kinerja manajemen pembangunan di level pemerintahan. Kita terlalu abai atas kondisi ekologis meski meraih beragam penghargaan lingkungan. Telah dikisahkan potret perkotaan yang tengah mengidap penyakit kronis yang mendukacitakan. Daya tahannya terus melemah secara berlahan, tetapi pasti. Kota-kota metropolitan seolah mengerang sebelum akhirnya takdir membisikkan kekecewaan di tengah gemerlapnya mozaik gedung dan perkantoran.

Perspektif yuridis menginformasikan betapa rapuhnya perlindungan lingkungan sewaktu berhadapan dengan investor. Konservasi perkotaan digerus secara terencana. Sungai-sungai sebagai urat nadi acapkali ditutup (box culvert) yang tidak sehaluan dengan wawasan go green. Biota air mati dan tanaman toga di sepanjang sepadan kali musnah tak berbekas. Aroma yang tercium adalah hembusan pekabaran tentang bumi pertiwi yang sedang bunuh diri ekologi (“ecological suicide”). Kota-kota di Indonesia menyuguhkan pentas penjungkirbalikan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan landasan topografisnya. Kekayaan alam diberbagai daerah juga dikuras dalam tingkat kerakusan yang membahayakan generasi mendatang. Bahkan kemiskinan justru terjadi pada daerah yang kaya tambang.

Dalam kosmologi perkotaan jelas bahwa kondisi tersebut membutuhkan hadirnya seorang pemimpin yang membangun wilayahnya berdasarkan kondisi ekologisnya. Setiap daerah memerlukan kepemimpinan (leadership) yang mengerti sikon alamnya. Setiap kabupaten/kota mutlak dikonstruksi menurut rambu-rambu iklimnya. Iklim dapat menjadi pijakan dalam merencakan pembangunan di setiap jengkal titik koordinatat kawasan Indonesia. Manusia tidak bisa melawan alam, tetapi menusia diamanati menjadi khalifahnya, berarti manusia wajib menata secara adaptif dengan kondisi alam. Dengan banjir,saya ucapkan selamat berlaga para cagub Jatim dan teruslah kampanye, berbenah, tidak cukup sekadar berubah.

*Penulis adalah Akademisi Hukum Lingkungan dan Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO