Sumamburat: Sihir Tahunan

Sumamburat: Sihir Tahunan Suparto Wijoyo

Oleh: Suparto Wijoyo* 

TAHUN 2017 telah berpamitan dengan ucap salam yang tidak terkatakan dalam menjemput 2018 yang kini menggelar tikar peradabannya. Seluruh peristiwa di 2017 menjadi lembaran yang didongengkan maupun dituliskan penuh kenangan.

Pembelajaran untuk 2018 menyudut dalam mentadabburi kisah yang ternarasikan dan mematok langkah bertafakur atas setiap fenomena semesta yang terjepret kamera mata. Olah pikir dan hati menjadi adonan betapa hari-hari yang berlalu itu menenun mozaik waktu sekarang nan mendatang. Setiap helaan nafas dan gerak langkah merupakan hantaran menjejak saat ini guna menjemput esok hari.

Saat-saat menjelang ”datangnya ajal 2017” dibarengi dengan gempita ”proses pembuaian” 2018. Sekaratul maut 2017 diusung penuh hingar untuk mempercepat penyongsongan 2018 agar tiba sesuai waktu yang direncanakan.

Dalam suasana inilah muncul acara ”malam resepsi” kelahiran 2018 dengan ragam kegiatan yang mencerminkan kualitas pribadi pelakunya. Ada komunitas yang rajin meniup trompet, konvoi sepeda motor, main petasan, berjingkak kegirangan, berpesta melupakan amanat hayatnya, dan ada pula yang tertunduk mengusap air mata dan membasuh bekunya wajah atas datangnya hari pembalasan yang pasti semakin mendekat.

Kembang api disulut dan membiak penuh warna di langit-langit dunia. Kendaraan mengular memadati jalanan kota untuk menjadi penanda bahwa sejarah sedang dipanggungi oleh mereka. Padahal mereka sedang mabuk kepayang atas imaji yang membias menjadi lazuardi manipulasi diri. Malam tahun baru pun dianggitkan sebagai momentum penjelajahan sihir waktu yang dikemas para pengkreasi bahwa ini hari adalah saat yang paling dinanti. Sebuah isyarat yang sangat absurd dengan mengusung ”berhala pemujaan” yang berkelambu pesta tahunan.

Mercon disulut memekakkan telinga dan meludeskan kantong perekonomian untuk selanjutnya tidur mbangkong sambil tergagap cengar-cengir. Guncangan ekonomi internal kian menumpuk tanpa menampik hutang setarikan dengan berjibunnya pinjaman negara. Sandal jepit diviralkan dengan potret kesederhanaan sambil memimpikan pesan tunggal ”berjalanlah di atas alas kaki sendiri, dan ucapkan selamat tingal sepatu”. Gebyar ajakan dan celoteh ”rapuhnya kedaulatan negara” akibat muntahan lahar hutang yang semakin ”menyesakkan” nyaris tidak terbaca.

Kepada penikmat sumamburat, hari-hari mendatang tetaplah dalam kebijakan iman, karena waktu acap menempuh lakonnya sendirian. Benar-benar walashri alias demi waktu kita semua ada dalam bingkainya. Tidak ada segmen aktivitas yang tidak berkelopak besar sang waktu yang beratribusi ”bisa merugi”.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO