Fatwa Ekologis

Fatwa Ekologis Suparto Wijoyo

Oleh: Suparto Wijoyo*

NU baru saja punya gawe besar berderajat setangga di bawah Muktamar yang disebut Munas Alim Ulama dan Konbes NU. Presiden Joko Widodo bertandang membuka Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Mataram, NTB tersebut penuh semangat dengan senyum yang mengembang.

Berbagai media massa memberitakan sikap “rendah hati” orang nomor satu Republik ini yang berkenan minta masukan alim ulama. Bahkan Presiden mengapresiasi NU karena mampu membawa suasana sejuk di tanah air melalui peran ulama.

Rekomendasi solutif dari NU untuk Indonesia pun dihasilan dengan membedah 18 persoalan penting semisal reforma agraria bagi kesejahteraan rakyat, kesenjangan sosial dan aspek pelayanan publik.

Susana penutupan Munas dan Konbes NU berjalan lempang meski secara nasional diikuti peristiwa banjir di mana-mana termasuk Pasuruan maupun Surabaya. Kota Pahlawan 70% wilayahnya terendam di Jumat 24 November 2017.

Banjir di Surabaya belum tuntas dibincang, Gunung Agung “meraungkan” dirinya dengan memuntahkan “material vulkanik” yang menghebohkan di Ahad dan Senin, 26-27 November 2017. Hingga hari ini problema lingkungan tak henti dituai seiring masukkanya musim penghujan. Longsor dan banjir menyerta dengan ingatan yang meretas ke lorong waktubahwa NU pernah berfatwa tentang lingkungan.

Sejak mendalami teologi lingkungan maupun ekosistem dan fiqih lingkungan, saya acap kali dibuat tercengang mengenai lambang NU. Lambang itu begitu futuristik dengan gambar bumi yang bermuatan geografi Ibu Pertiwi dengan ikatan tambang (tampar).

Pesan ekologis yang diusung adalah penyelamatan bumi, jauh lebih awal (1926) daripada kesadaran global mengenai lingkungan yang baru digerakkan pada 5 Juni 1972 melalui Konferensi Stockholm. Ini menandakan bahwa Alim Ulama ternyata amat berkecakapan ekologis.

Secara historis NU tampil sebagai pemandu zaman dan pemberi peneguhan terhadap kekokohan nasional dalam lingkar “catursila”, yaitu: tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan amar makruf nahi munkar (menegakkan kebaikan mengenyahkan kemungkaran).

Untuk itulah keberadaan NU dibutuhkan negara dalam segala lini, apalagi soal krisis ekologis. NU harus menjadi generator yang mensinergiskan tiga pilar dasar pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yaitu ekonomi, sosial dan ekologi dalam semangat kesejahteraan umat.

Sejatinya NU sebagai lokomotif perubahan untuk mewujudkan masyarakat madani (civil-society) telah digelorakan sejak kepemimpinan PBNU di tangan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur selama 1984-1999. Gerakan dinamis Gus Dur merupakan investasi terbesar NU bagi penguatan kehidupan kenegaraan yang demokratis.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO