Budaya Nyakar

Budaya Nyakar Suparto Wijoyo

Oleh: Suparto Wijoyo*

DENDAM tampaknya masih “dipelihara” di Jakarta. Sebuah helatan yang digelar dalam atribut sekolah bergengsi di Jakarta dengan membungkus “ajang penghargaan” alumni yang top, terlihat “memunggungi” Gubernur DKI Jakarta yang diundangnya. 

Sang pengundang terlihat tertegun dalam kelindan penerima penghargaan yang “menendang bola dendam” sambil mengucap ungkapan yang sangat politik atas nama kemanusiaan. Nilai-nilai nurani dan kemanusiaan diusung penuh “nafsu” agar terekam “jagoan” dari gerak “pilihan politik yang berbeda”. 

Anies-Sandi di sini sementara “pianis hebat” ada di lorong sana. Jarak antara sini dan sana sebenarnya dapat dibalut dalam rekat dekat nilai-nilai “Sang Kasih”. Momen itu terpotret tidak mengejawantah. Banyak pihak kemudian memberikan respon atas “siaran pers” yang “dibopong dengan sombongnya”. 

Adakah orang yang bersikap tidak tahu empan lan panggonan sambil “mengerumuni” memberi sambutan untuk kemudian “dipermalukan” dalam gerakan “tinggal gelanggang”? Inilah manifestasi “lemahnya daya berpersatuan” akibat “nafsu gandrung kuasa”.

Perebutan jabatan kursi Gubernur sejatinya hal lumrah dalam berdemokrasi, bukan menjadi lazuardi yang mengkristalkan “dominasi dendam”. Itulah gambaran “mozaik buram” dari orang yang merasa super padahal sedang lelap dalam gelora “cinta buta” kepada calonnya. Solusi demokrasi dikhianati sendiri. Ujaran kecurangan dan laku tidak hormat disematkan kepada yang menang “hanya untuk menutupi galaunya emosi jiwa”.

Meski dia amat terpelajar dan telah “mengeja seluruh sandi” dunia, ternyata dia sekadar produsen “pewarna untuk mengaburkan” budaya “menjunjung martabat bangsa”. Bahkan yang dipertontonkan adalah gerakan mencakar budaya bangsa “membuang muka dari tatapan pemimpin terpilih”. Slogan “saya berbhinneka” terbaca sebatas imaji, bukan energi keutuhan negeri.

Soal cakar budaya ini sebenarnya bertolak belakang dengan kehendak “cagar budaya”. Surabaya sedang ramai membincangnya. “Rumah Pidato Bung Tomo di Jalan Mawar No. 10” Surabaya sudah umum terlabeli sebagai benda cagar budaya. Tumpukan aturan dan jejaring pasal-pasal hukum dapat disodorkan mengenai statusnya sebagai benda cagar budaya (BCB). Tetapi petualangan “jiwa-jiwa gelap” akan selalu menggerhanai “sinar rembulan” agar meredup di belantara kota.

Surabaya tengah menjelma menjadi panggung raksasa yang semua pihak dapat memainkan peran sesuai dengan seleranya. Empat sisi siku-siku Surabaya telah ditengeri para ”raja malam”. Di Kota Surabaya banyak “perang gerilya” memperebutkan hidup laksana di hutan belantara yang di dalamnya penuh sesak binatang jalang, buas nan nakal. Apa saja yang ada disantapnya tanpa dimamah secara benar menurut kaedah kesehatan.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO