Sumpah Memanggil Indonesia

Sumpah Memanggil Indonesia Suparto Wijoyo.

INDONESIA menyuguhkan ragam kisah sedih di kala semua Putra-Putrinya merayakan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2017. 48 jiwa melayang di Tangerang akibat kebakaran “rumah mercon” di Kosambi. Jatim tidak kalah seru mempertontonkan “insiden girder kematian” Proyek Tol Paspro yang ambruk pada Ahad, 29 Oktober 2017.

Belum lagi soal “tarian problema” di jengkal reklamasi Teluk Jakarta maupun “lenggok genit” Meikarta dengan iklan besar-besar yang membuat jutaan rakyat miskin Indonesia tertegun tanpa bisa berkata. Semua hanya bisa begong “sinanggong” makna Indonesia yang bergerak seperti sedang mencari tuannya.

Dalam kelindan peringatan yang secara nasional dirayakan di Istana Bogor dengan memamerkan selfie-selfie, itu seperti sedang memanggungkan “kehebatan” negeri ini: Indonesia. Saya teringat bahwa kata Indonesia menarik perhatian menunjuk sebagai suatu bangsa sejatinya bermula dari lahirnya buku Inleiding Tot De Culturele Anthropologie van Indonesia karya H.Th. Fischer.

Buku ini mencatat dengan begitu rinci sekaligus menyederhanakan diri untuk kemudahan komunikasi bahwa bangsa yang mendiami Indian Archilepago alias Malayan Archipelago dinamakan Indu-Nesians atau Malaya-Nesians.

Penamaan ini mengutip pemikiran ilmuwan Inggris di tahun 1850 yang bernama Earl meski di tahun itu pula cendekiawan Inggris lainnya yang bernama Logan langsung secara telak menyebut “Indonesia”. Penyebutan Indonesia kemudian terkenal dan seolah memberikan perestuan dengan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 dengan sedikit “merabunkan” kerajaan-kerajaan Islam yang tengah “digoyang penuh gairah” oleh kolonialis.

Dalam bayangan saya pastilah putra-putri Indonesia yang mendeklarasikan diri Sumpah Pemuda itu tidak pernah sampai menyentuh “dinding-dinding” kebangsaan yang mengaduk “dada rakyat” yang kian lengkap dengan “remo” SPSK (suap, pungli, sogok dan korupsi) seperti sekarang (yang ratusan tahun diajari kaum imperialis). Orang-orang “terhormat” yang berasal dari institusi demokrasi yang terkena OTT KPK membuktikan adanya penggerogotan makna negara.

Indonesia sebagai political-organized tengah ditelikung oleh “pemangku tahtah” yang khianat, termasuk yang membiarkan “pengurukan laut” dan “penebaran areal properti dan investasi di lahan gambut yang tidak semestinya”. Penerima mandat rakyat seperti Kepala Daerah, anggota DPR(D) maupun penggenggam kewenangan birokrasi yang terlibat SPSK berarti mengikis sari pati Sumpah Pemuda.

Tidakkah pembaca mengetahuibahwa Sumpah Pemuda merupakan manifes nasionalisme yang diliterasi penuh karakter: Kami putra dan putri Indonesia: mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia; mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; dan menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Sumpah ini bukan produk historis yang instan melainkan pendar cahaya yang berasal dari gumparan energi cita-cita keindonesiaan yang panjang.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO