Ludruk Irama Budaya Surabaya, Mencoba Bertahan dengan Minimnya Fasilitas THR

Ludruk Irama Budaya Surabaya, Mencoba Bertahan dengan Minimnya Fasilitas THR Gedung pertunjukan. sederhana, dengan sound system yang sederhana pula. foto: Disna/ BANGSAONLINE

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Irama Budaya adalah salah satu kesenian tradisional Ludruk yang ‘dipaksa’ aktif, dan tetap bertahan di Taman Hiburan Rakyat (THR) hingga sekarang, meskipun fasilitas gedung kurang layak plus kurangnya antusias penonton.

Tujuh tahun silam, kelompok Irama Budaya diundang dan pindah untuk tampil di gedung kesenian THR. Sebelumnya, mereka eksis dan memiliki penggemar selama 30 tahun, dan rutin tampil di gedung kesenian Pulo Wonokromo. Itu merupakan masa kejayaan mereka.

Kini, tampil di THR, mereka hanya pentas seminggu sekali secara rutin. Maklum, Irama Budaya merupakan kelompok Tobong yang artinya selalu pentas menetap di sebuah gedung. Mulai dari melalukan latihan maupun menjalani kehidupan sehari-hari, mereka saling berbaur mulai dari anak, cucu tinggal di sekitar tempat pertunjukan.

Ludruk seharusnya bisa tetap digandrungi penonton, asal grup terus berkreasi di setiap pertunjukan. Mulai tari, olah suara, dan juga seni peran. “Sayangnya, anak muda di Surabaya lebih menyukai seni modern, notabene berasal dari negara asing, karena mungkin bagi mereka seni modern lebih keren daripada kesenian tradisional,“ papar Deden (36), pemimpin kelompok Irama Budaya, yang dapat tampuk pimpinan dari orang tuanya.

Dengan penonton yang tak begitu banyak dan tiket masuk yang dibandrol hanya Rp 10 ribu, anggota kelompok tak bisa mengandalkan penghidupan pada kesenian . Pentas dijadikan sampingan dan bentuk kecintaan mereka terhadap kesenian serta upaya melestarikan kesenian tradisional. Jika penonton sepi, sedangkan para pemain sudah berhias, maka pertunjukan tetap dimainkan, dan penonton digratiskan. Itupun penonton yang mau menyaksikan sangat minim.

Sembari berupaya meregenerasi pemainnya, Lurdruk Irama Budaya mengembangkan jalan cerita lakonnya. Ia dan tim menambahkan lawakan disesuaikan dengan isu-isu kekinian seperti media sosial atau politik. “Yang penting tidak meghilangkan pakem , tetap ada gamelan, jula-juli, remo, dan bedayan. Pakem itu tidak boleh dihilangkan,” kata Deden.

Di sisi lain, sarana dan prasarana yang disediakan pemerintah Kota Surabaya untuk mendukung pelestarian dinilai kurang diperhatikan, sehingga membuat kurangnya antusias penonton dan mulai ditinggalkan penggemar.

Suasana pintu gerbang yang menyambut pengujung tampak begitu gelap, hanya ada penerangan lampu ala kadarnya dan bisa dibilang kurang. Gedung pertunjukan seni juga nampak sangat sederhana hanya ada kursi seadanya, gamelan dan panggung yang tidak terlalu besar dengan background lukisan khas kesenian , beberapa bangunan juga terlihat sudah reyot sehingga butuh renovasi.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO