Menelusuri Jejak Kampung Religi di Surabaya (17): Jamaah Salat di Masjid Rahmat Tak Pernah Sepi

Menelusuri Jejak Kampung Religi di Surabaya (17): Jamaah Salat di Masjid Rahmat Tak Pernah Sepi Salah satu pengajian yang digelar di Masjid Rahmat Kembang Kuning usai Salat Ashar, yang diasuh oleh KH Abd Muchid Murtadho, Ketua Umum Yayasan Masjid Rahmat Surabaya. foto: YUDI ARIANTO/ BANGSAONLINE

BERAGAM keunikan memang melekat di Masjid Rahmat Kembang Kuning, Surabaya. Salah satunya adalah masjid yang memiliki tiga alamat berbeda. Alamat utama Masjid Rahmat ini beralamatkan di Jl Kembang Kuning Nomor 79-81, Kelurahan Pakis, Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya. Masuknya melalui gerbang utama masjid yang berbentuk semanggi itu dari sisi selatan.

“Karena berbatasan dengan tiga wilayah maka selain beralamatkan di Jalan Kembang Kuning, Masjid Rahmat juga beralamatkan di Jl Chairil Anwar Nomor 27 melalui pintu sebelah barat masjid serta Jl Amir Hamzah Nomor 18 melalui pintu sebelah timur, tepatnya kantor Radio Yasmara,” ungkap Ahmad Syafii, Pengurus Yayasan Masjid Rahmat.

Ada dua bukti kuat keberadaan Masjid Rahmat ini diakui sebagai peninggalan Sunan Ampel, yakni pada tahun 1951 Mahkamah Agung membuat akte yang menyebutkan bahwa Masjid Rahmat merupakan Warisan Kanjeng Sunan Ampel. Kedua, Pemerintah Kota Surabaya melalui SK Wali Kota Nomor: 188.45/251/402.1.04/1996, tanggal 26 September 1996, dengan nomor urut 47, ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya sebagai salah satu tempat suci/masjid yang tertua di Surabaya dan merupakan peninggalan dari Sunan Ampel.

Syafii, juga menunjukkan salah satu bukti peninggalan Sunan Ampel selain Langgar Tiban yang kini menjadi Masjid Rahmat ini, yakni sebuah sumur tua. Lokasi sumur ini sekitar 5-7 meter dari lokasi yang diyakini sebagai langgar tiban. “Sebelum ditemukan sumur itu, dulu ditutupi ilalang serta batu besar yang mengeluarkan air,” ungkapnya.

Raden Rahmat kenapa memilih lokasi Kampung Kembang Kuning sebagai tempat mendirikan Langgar Tiban menurutnya cukup masuk akal, karena pada waktu itu, di depan lokasi Masjid Rahmat ini merupakan sebuah sungai yang cukup besar hingga bisa dilalui oleh perahu-perahu jurusan ke Sungai Brantas.

“Armadanya para wali dulu adalah perahu untuk menyebarkan agama Islam. Sebelum ke Ampel Denta, Raden Rahmat singgah dulu di Kembang Kuning. Lokasi sungai persis di depan Masjid Rahmat, karena kebijakan jaman Belanda, maka ukurannya diperkecil seperti sekarang ini,” jelasnya.

Sumur tua ini sampai saat ini masih dipakai untuk kebutuhan berwudhu para jamaah saat rawatib di Masjid Rahmat. Berhubung jamaah salat ini bertambah banyak, maka diimbangi dengan air dari PDAM.

Meski datang musim kemarau, sumur ini tidak pernah kering. Bahkan bisa dipakai berwudhu orang banyak. Apabila air PDAM itu mati, sumur tua ini yang berperan melayani para jamaah dalam bersuci. “Pernah ada juga orang-orang yang meminta air ini sebagai sugesti untuk keluarganya yang sakit,” kenangnya.

Jamaah salat di Masjid Rahmat tidak pernah sepi, setiap harinya tidak kurang dari 5 sampai 6 shaf yang 1 shafnya sekitar 50 orang untuk laki-laki. Sedangkan untuk yang perempuan sekitar 2-3 shaf. Jadi total setiap harinya ada 9 shaf atau sekitar 500 orang yang melakukan salat jamaah rawatib.

“Dengan istiqomahnya masyarakat juga saling mendukung takmir dan pengurusnya juga dalam melaksanakan hal tersebut bersama-sama,” tandasnya.

Terlebih pada bulan Ramadan, ada berbaga macam pengajian mewarnai ibadah di Masjid Rahmat Kembang Kuning ini, seperti kuliah Dzuhur, pengajian Azhar, kultum menjelang tarawih serta acara buka bersama (bukber) yang setiap harinya tidak kurang dari 500 porsi makan di teras masjid.

“Alhamdulillah partisipasi masyarakat untuk memberikan buka banyak sekali. Belum lagi ditambah saat masuk maleman (malam ke-20-an) yang jatuh pada sepuluh hari terakhir, ada sahur bersama,” pungkasnya. (ian/lan/bersambung)

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO