Tafsir Al-Nahl 118-119: Antara Toleransi Sunan Kudus dan Ansor NU

Tafsir Al-Nahl 118-119: Antara Toleransi Sunan Kudus dan Ansor NU

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .  

Wa’alaa alladziina haaduu harramnaa maa qashashnaa ‘alayka min qablu wamaa zhalamnaahum walaakin kaanuu anfusahum yazhlimuuna (118). Tsumma inna rabbaka lilladziina ‘amiluu alssuu-a bijahaalatin tsumma taabuu min ba’di dzaalika wa-ashlahuu inna rabbaka min ba’dihaa laghafuurun rahiimun (119).

Ayat 118 menunjuk, bahwa seorang muslim tidak boleh mengharamkan atas diri sendiri sesuatu yang pada dasarnya halal. Jika hal itu diback-up dengan sumpah, semisal: “wallahi, saya tidak akan makan ikan bandeng”, maka wajib dipatuhi. Jika makan, apapun alasannya, maka dia melanggar sumpah. Sumpah begini ini merepotkan dan sebaiknya didibatalkan dengan cara membayar kafarat.

Bagi mereka yang melakukan hal di atas karena tidak mengerti (bi jahalah), lalu bertobat dan memperbaiki diri (tsumma tabu min bad' dzalik wa ashlahu), maka Tuhan mengampuni. Begitulah ayat studi 119 bertutur.

Persoalan membias pada pengharaman barang halal terkait dengan strategi dakwah atau balas jasa. Bolehkah?

Pertama, untuk balas jasa, katanya, Kiai Khalil Bangkalan pernah mendapatkan musibah di laut, lalu ada seekor ikan yang baik hati dan menolong. Kiai ditopang di atas punggung ikan, lalu dibawa minggir ke tepi pantai dan selamatlah beliau. Sebagai balas jasa, di hadapan ikan itu beliau bersumpah: "mulai sekarang, aku haramkan diriku dan keturunanku mengkonsumsi kamu dan keturunanmu".

Lepas dari kisah ini benar dan tidak, maka jadilah hukum haram tersebut mengikat atas diri kiai Khalil. Persoalannya, apakah hukum tersebut juga berlaku bagi keturunan kiai Khalil? Perspektif dhahir tidak. Karena pada dasarnya, seseorang tidak bisa dibebani tanggung jawab hukum dari orang lain. Kecuali pada persoalan yang sudah ditentukan oleh Nash secara tegas, seperti diyat 'aqilah. Yakni denda pembunuhan yang dibebankan secara gotong-royong pada keluarga, bukan pada diri si pembunuh.

Lazimnya, semisal tragedi kiai Khalil itu dikisahkan pada keluarga, lalu diwasiatkan, sehingga menjadi pugeran keluarga yang dipatuhi secara turun-temurun. Meskipun keluarga tersebut tidak terbebani efek sumpah, biasanya mereka patuh. Andai saja ada yang melanggar, -meski tiak dosa- biasanya ada efek buruk menimpa dirinya. Semisal gatal-gatal atau sakit aneh.

Cara penyembuhannya -biasanya- sulit lewat medik, melainkan lewat magic. Semisal bersedekah, istighfar, mengkhatamkan al-qur'an di kuburan leluhur yang menjatuhkan sumpah dulu sembari meminta maaf dan lain-lain. Atau menurut nasehat kiai ahli.

Begitu halnya dengan pelarangan sesuatu yang aslinya halal sebagai bagian dari strategi dakwah, semisal toleransi pada pemeluk agama lain. Katanya, kanjeng Sunan Kudus melarang warga Kudus yang beragama Islam makan daging sapi. Hal demikian atas pertimbangan toleransi pada pemeluk agama Hindu yang tidak mengkonsumsi daging sapi. Bagi Hindu, sapi adalah hewan sakral yang dimuliakan.

Ini cara berdakwah yang brilian, bijak dan bermaslahah. Sunan Kudus sangat paham bahwa Islam kini sedang berada di bumi nusantara yang beragam dan majemuk. Tapi juga sangat mengerti bahwa keimanan adalah melebihi segala-galanya.

Itulah, makanya beliau berdakwah dengan cara menahan diri tidak mengkonsumsi daging sapi di tengah-tengah masyaramat yang sedang menghormati sapi. Hal itu bukan karena haramnya daging sapi dalam syari'ah Islam, melainkan sebatas tepo seliro, menjaga perasaan sesama. Lebih dari itu, toleransi ini sama sekali tidak merugikan Islam dan umat Islam serta tidak pula menguntungkan nonmuslim, tidak pula memberi peluang bagi mereka leluasa menguasai umat Islam.

Di sini nampak jelas, betapa kanjeng Sunan arif dalam mengkomparasikan efek maslahah dan mafsadah dalam berdakwah. Meski pelarangan mengonsumsi daging sapi tersebut tidak lazim dalam syariah Islam, tapi tidak berefek apa-apa bagi agama, justru menebar simpati kepda pemeluk agama lain.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO