Google Tak Mau Bayar Pajak, Masyarakat Diminta Buat Konten Kepentingan Nasional‎

Google Tak Mau Bayar Pajak, Masyarakat Diminta Buat Konten Kepentingan Nasional‎

JAKARTA, BANGSAONLINE.com – Raksasa binis digital Google, , Yahoo, Twitter hingga kini tidak mau membayar pajak dan royalti konten. Padahal Indonesia aalah lahan besar bagi Google untuk mencari keuntungan triliunan rupiah, terutama dari iklan.

Google berdalih, di Indonesia Google hanya beroperasi sebagai kantor perwakilan, bukan sebagai badan usaha tetap (BUT). Hal itu menjadi pembicaraan serius dalam diskusi terbatas dengan tema “Kewajiban Pajak dan Filter Konten Bagi Raksasa Digital, Serta Literasi Digital Untuk Kepentingan Nasional Indonesia” yang diadakan oleh , Institut Media Sosial dan Diplomasi, KOMUNIKONTEN di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Jalan Kembang Raya No. 6, Jakarta Pusat, Jumat sore (22/09).

Direktur Eksekutif Komunikonten Hariqo Wibawa Satria mengatakan, ‎saat ini memang terjadi persaingan usaha yang tidak sehat. Di Indonesia seperti Kompas online, Sindo online, Republika online, Tempo online, Detik.com, Okezone, Viva, dan portal berita yang lain membayar pajak, namun mesin pencari seperti Google tidak kena pajak. Google dan search engine lainnya dalam kinerjanya bergantung dari konten yang tersedia di situs-situs, termasuk portal berita.

"Kita harus memahami bahwa Google itu bukan sosial murni tapi juga bagian dari bisnis. Sebab data- data pengguna dan apa yang dilakukan pengguna direkam langsung oleh mereka," ujar Hariqo.

Sementara itu, ‎ Agus Sudibyo, Mantan Anggota Dewan Pers, Kaprodi Komunikasi Massa di Akademi Televisi Indonesia, yang menjadi pemateri dalam acara tersebut mengatakan, di era teknologi informasi ini Google sebagai raksasa digital punya kemampuan cukup tinggi untuk menguasai data yang bersifat rahasia. Juga, banyak masyarakat yang masih awam memahami cara kerja Google. Meski dianggap banyak memberikan manfaat, namun ‎diantara proses mengkapitalisasikan diantaranya bisa dengan mengolah banyak data yang ada diinternet untuk memahami kecenderungan masyarakat.

"Ini yang kemudian dijadikan dijadikan alat tawar dengan pemasang iklan. Akhirnya muncul iklan-iklan yang tidak diundang ke ruang-ruang pribadi kita. Nah, jika iklan di televisi, radio, koran, media online ada yang mengawasi, sedangkan iklan-iklan digital ini tidak," terang Agus.

Lihat juga video 'Ikuti Google Maps, Mobil Pikap di Blitar Dilewatkan Jembatan Bambu, Nyaris Terporosok':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO