Ketua LSM GP3H, Anjar Supriyanto.
PASURUAN, BANGSAONLINE.com - Polemik penutupan Warkop Meiko semakin melebar setelah Ketua Lembaga Pemuda-Pemudi Pengamat Hukum, Anjar Supriyanto, mengkritik dasar moralitas yang dijadikan alasan aparat desa.
Menurut dia, penutupan usaha kecil atas nama etika publik justru membuka persoalan lebih dalam, mulai dari dugaan praktik setoran bulanan, lemahnya transparansi, hingga inkonsistensi logika moral pemerintah desa.
Penertiban Warkop Meiko dilakukan dengan alasan 'mengganggu moralitas'. Namun, Anjar menilai argumentasi itu tidak berdiri sendiri.
Ia menyebut adanya laporan warga mengenai dugaan setoran bulanan kepada oknum perangkat desa yang seharusnya diperiksa secara terbuka.
“Jika benar ada setoran, maka penutupan ini tidak bisa hanya dilihat sebagai isu moral. Ada persoalan integritas yang jauh lebih serius,” ujarnya saat dikonfirmasi, Rabu (3/12/2025).
Ditegaskan olehnya, moralitas sering dijadikan dalih paling mudah untuk menutup usaha kecil.
“Usaha yang dituding tidak bermoral ditutup, tetapi dugaan praktik rente justru seolah dibiarkan,” cetusnya.
Ia juga menyoroti ketidakseimbangan pendekatan pemerintah desa. Dikatakan, warkop adalah ruang fisik yang mudah diawasi, sementara kerusakan moral terbesar justru hadir di ruang digital.
“Kalau moral dijadikan dasar kebijakan, mengapa yang paling merusak justru tidak disentuh? Mengapa warkop, bukan media sosial, yang dianggap ancaman,” ucapnya.
Selain Warkop Meiko, tempat karaoke di Kelangkung juga ditutup dengan alasan moralitas. Anjar melihat pola yang sama, yakni tidak ada penjelasan rinci mengenai dasar hukum, transparansi proses, maupun mekanisme administratif yang jelas.
“Konsistensi kebijakan itu penting. Jika penertiban dilakukan dengan alasan moral, maka seluruh ruang yang berpotensi menimbulkan pelanggaran moral harus ditertibkan secara adil, bukan selektif,” paparnya.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa pembenahan moral harus dimulai dari struktur pemerintahan.
“Menutup warkop tidak akan memperbaiki moral jika pemerintah desa sendiri tidak bersih dari praktik yang merusak kepercayaan publik,” katanya.
Ia menyebut penutupan warkop sebagai tindakan 'simbolik dan dangkal', karena lebih mudah menutup bangunan kecil ketimbang membenahi tata kelola pemerintahan. Ia menilai, literasi digital justru menjadi pekerjaan rumah terbesar yang selama ini tidak tersentuh.
“Anak-anak bisa mengakses konten kekerasan, perjudian, dan pornografi dalam hitungan detik. Ini yang merusak moral. Penutupan warkop sama sekali tidak berkaitan dengan persoalan besar itu,” ujarnya.
Hingga kini, aparat desa yang disebut-sebut terlibat dalam dugaan setoran bulanan belum memberikan penjelasan. Pemerintah setempat juga belum merinci dasar hukum maupun kajian sosial-ekonomi sebelum keputusan penutupan diambil.
Kasus Warkop Meiko dan karaoke Kelangkung kini menjadi cermin benturan antara moralitas, ekonomi, dan kekuasaan di tingkat desa.
“Pertanyaannya tetap sama apakah benar warkop merusak moral, atau moral rusak karena kita tidak berani melihat persoalan yang sesungguhnya,” kata Anjar. (maf/par/mar)












