Adab Santri dalam Tradisi Pesantren: Antara Spiritualitas, Keilmuan dan Kritik Modern

Adab Santri dalam Tradisi Pesantren: Antara Spiritualitas, Keilmuan dan Kritik Modern A. Faiz Yunus (kanan). Foto: dok pribadi

Oleh: A. Faiz Yunus

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Tradisi pesantren di Indonesia memiliki kekhasan yang membedakannya dari lembaga pendidikan Islam di kawasan lain. Salah satu pilar terpentingnya adalah adab. Adab dalam perspektif pesantren bukan sekadar tata krama sosial atau sopan santun lahiriah, melainkan bagian integral dari proses transformasi spiritual dan intelektual.

Sejak awal, santri dididik untuk menundukkan diri di hadapan guru (kiai): menunduk ketika lewat, mencium tangan, hingga berjalan dengan penuh hormat. Semua perilaku lahiriah itu sering kali disalahpahami dari perspektif modern yang cenderung rasional-egaliter, bahkan kadang dianggap sebagai bentuk feodalisme, perbudakan, atau praktik bid'ah. Namun secara historis dan teologis, penghormatan santri kepada kiai memiliki akar kuat dalam khazanah keilmuan Islam klasik. Ini sejalan dengan Firman Allah Ta'ala dalam surah Qaf ayat 37 :

اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَذِكْرٰى لِمَنْ كَانَ لَه قَلْبٌ اَوْ اَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيْدٌ

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang yang mempunyai hati, atau yang menggunakan pendengarannya dan ia sedang menyaksikan”

Ayat ini menjadi bukti bahwa ilmu hanya akan bisa dipahami jika hati seorang pencari ilmu hadir dengan niat yang tulus untuk telinga mendengar paparan ilmu dari guru (kiai), dan jiwa tunduk menerima ilmu yang disampaikan.

Adab sebagai Jalan Ilmu

Dalam tradisi keilmuan Islam, adab menempati kedudukan yang sangat tinggi. Ilmu bukan sekadar kumpulan teks dan hafalan, melainkan nur (cahaya) yang Allah letakkan di hati hamba-Nya. Maka, siapa pun yang ingin mendapatkan keberkahan ilmu harus memelihara adab kepada gurunya.

Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah pernah berpesan tentang hak seorang guru dan kewajiban murid untuk memuliakannya. Pesan tersebut diriwayatkan dalam Iḥya' 'Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali (w. 505 H):

إن من حق العالم أن لا تكثر عليه بالسؤال، ولا تعنته في الجواب، ولا تلح عليه إذا كسل، ولا تأخذ بثوبه إذا نهض، ولا تفشي له سرًا، ولا تغتابن أحدًا عنده، ولا تطلبن عثرته، وإن زل قبلت معذرته، وعليك أن توقره وتعظمه لله تعالى ما دام يحفظ أمر الله تعالى، ولا تجلس أمامه، وإن كانت له حاجة سبقت القوم إلى خدمته

(Iḥya' 'Ulum al-Din, Juz 1, h. 85)

“Termasuk hak seorang alim ialah engkau tidak memperbanyak pertanyaan kepadanya, tidak memberatkannya dalam jawaban, tidak mendesaknya jika ia lelah, tidak menarik pakaiannya ketika hendak berdiri, tidak menyebarkan rahasianya, tidak menggunjing seseorang di hadapannya, dan tidak mencari-cari kesalahannya. Jika ia tergelincir (salah), maka terimalah alasannya. Wajib bagimu untuk menghormatinya karena Allah Ta'ala selama ia menjaga perintah Allah Ta'ala. Jangan duduk di depannya. Jika ia memiliki suatu kebutuhan, maka dahulukankanlah untuk melayaninya.”

Sejalan dengan itu, Imam al-Ghazali juga menegaskan:

يَجِبُ عَلَى الطَّالِبِ أَنْ يُخْلِصَ النِّيَّةَ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ، وَأَنْ يُعَظِّمَ الْعِلْمَ وَأَهْلَهُ، وَمَنْ لَمْ يُعَظِّمِ الْعِلْمَ فَإِنَّهُ يُحْرَمُ الِانْتِفَاعَ بِهِ

“Wajib bagi seorang penuntut ilmu meluruskan niatnya dalam menuntut ilmu, serta memuliakan ilmu dan ahlinya. Barangsiapa tidak memuliakan ilmu, maka ia akan terhalang dari manfaatnya.”

Dari sini jelas, adab bukanlah aksesori, melainkan kondisi epistemologis yang menentukan keberkahan ilmu.

Perspektif Ulama Nusantara: Syaikh Nawawi al-Bantani

Pemikiran Imam al-Ghazali mendapat penguatan dari ulama Nusantara, Syaikh Nawawi al-Bantani (w. 1314 H), dalam Maraqi al-'Ubudiyyah. Beliau menegaskan pentingnya sikap tawadu' murid kepada gurunya:

وَيَنْبَغِي لِلطَّالِبِ أَنْ يَتَوَاضَعَ لِشَيْخِهِ، وَيُحْسِنَ الظَّنَّ بِهِ، وَلَا يَسْتَكْثِرَ خِدْمَتَهُ

(Maraqi al-‘Ubudiyyah, h. 11)

“Hendaknya seorang murid merendahkan diri di hadapan gurunya, berbaik sangka kepadanya, dan tidak merasa berat dalam melayaninya.”

Ungkapan ini menunjukkan bahwa dalam tradisi Islam, penghormatan murid kepada guru bukan sekadar ritual simbolis, melainkan bagian dari etika keilmuan. Karena itu, praktik santri berjalan ngesot, mencium tangan, atau menjaga sikap penuh hormat di hadapan kiai merupakan pengejawantahan nyata dari warisan keilmuan klasik Islam.

Kritik Modern dan Relevansi

Di tengah dunia modern yang serba rasional, tradisi ini menghadirkan keseimbangan: bahwa ilmu tidak cukup hanya dipelajari dengan otak, tetapi juga dengan hati yang tunduk, jernih, dan penuh hormat.

Kritik dari perspektif modern biasanya berpijak pada nilai egalitarianisme dan kebebasan individu. Gestur penghormatan fisik kepada guru dianggap merendahkan martabat manusia. Namun kritik semacam itu sering kali gagal melihat konteks epistemologis dan spiritual tradisi pesantren.

Bagi pesantren, adab lahiriah justru menjadi sarana batiniah untuk menghancurkan ego (nafs), mengikis kesombongan intelektual, dan membuka hati agar siap menerima cahaya ilmu. Dengan kata lain, penghormatan santri kepada kiai adalah pendidikan karakter yang menyatukan dimensi lahir dan batin.

Tradisi adab santri dalam pesantren bukanlah warisan feodal, melainkan bagian integral dari manhaj (metodologi) keilmuan Islam. Apa yang dilakukan santri dari mencium tangan hingga berjalan penuh hormat merupakan pengejawantahan nilai yang diajarkan para ulama klasik, mulai dari Imam al-Ghazali hingga Syaikh Nawawi al-Bantani.

Tradisi pesantren menempatkan adab sebagai kunci utama pembuka ilmu. Tawadhu' kepada guru, kesabaran dalam belajar, keikhlasan menerima, serta menjaga dzikir dan hati yang hadir semua itu adalah jalan agar cahaya ilmu benar-benar menancap dalam jiwa.

Tanpa adab, ilmu hanya akan menjadi hafalan yang kering. Tetapi dengan adab, ilmu akan menjadi cahaya yang menuntun jalan hidup, menghubungkan santri dengan para ulama, dan akhirnya membawa kepada ridha Allah.

Referensi

Al-Ghazālī, Abū Ḥāmid. Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn. Kairo: Dār al-Ḥadīth, 2004. Juz 1, hlm. 85.

Nawawī al-Bantanī. Marāqī al-‘Ubūdiyyah. Beirut: Dār al-Fikr, tanpa tahun, hlm. 11.