Usulan Masa Jabatan 9 Tahun, Pengamat Nilai Kades Tak Paham Demokrasi

Usulan Masa Jabatan 9 Tahun, Pengamat Nilai Kades Tak Paham Demokrasi Ratusan ribu kepala desa (Kades) dari seluruh Indonesia menggeruduk kantor DPR RI untuk menggelar aksi damai menuntut masa perpanjangan jabatan jadi 9 tahun.

JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), M Nur Ramadhan menilai tuntutan masa jabatan kepala desa (Kades) dari 6 tahun menjadi 9 tahun menunjukkan kurangnya pemahaman tentang demokrasi.

"Hilangnya kesadaran akan pentingnya membangun preseden positif dalam praktik demokrasi dari tingkat terbawah dari elit politik menunjukkan miskinnya pemahaman pentingnya mewariskan nilai-nilai terbaik ke generasi berikutnya," katanya, Kamis (26/1/2026).

Ia mengatakan, jika pemilihan kepala desa (Pilkades) yang selama ini dianggap sebagai praktek terbaik demokrasi dari level pemerintahan terbawah, maka yang dilakukan para kepala desa itu, justru menunjukkan lemahnya demokrasi.

Tak hanya itu, tuntutan perpanjangan masa jabatan kepala desa itu, sebagai politik transaksional menjelang Pemilu 2024.

"Presiden dan DPR merupakan pihak yang memegang kewenangan legislasi, sehingga menjadi sangat berdasar jika wacana ini bisa jadi bentuk politik transaksional karena sulit menemukan argumen rasional dari usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa tersebut," ujar Nur.

Nur menilai, tuntutan perpanjangan masa jabatan kades sangat tidak mendasar, dipaksakan, bahkan cenderung transaksional.

Tuntutan itu, menurutnya, tidak sesuai dengan semangat membangun tata kelola pemerintahan yang baik dari pusat hingga ke desa. Bahkan, pembatasan kekuasaan membuat menekan penyelewengan.

"Hal ini bertolak belakang dengan semangat pembatasan kekuasaan dalam prinsip negara hukum di Indonesia," pungkasnya.

Sementara itu, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Abdul Halim Iskandar menyebut, usulan perpanjangan masa jabatan kades yang menjadi polemik ini, bukan berasal dari pemerintah pusat, parpol maupun Presiden.

"Enggak ada keinginan dari pusat, baik kementerian maupun Presiden, parpol," ujar Gus Halim mengutip Kompas.com, Rabu (25/1/2023).

Menurutnya, usulan tersebut berasal dari bawah dari masukan para kades maupun masyarakat.

Gus Halim sapaan akrab Mendes PDTT ini mengatakan, semula kementeriannya berinisiatif untuk meninjau kembali UU Nomor 6 Tahun 2014. Sebab, aturan yang sudah berusia sembilan tahun itu butuh adanya perbaikan.

"Karena desa perkembangannya sudah bagus. Tetapi juga masih banyak persoalan di desa. Maka revisi UU Desa dirasa diperlukan untuk pembangunan desa lebih baik," katanya.

Menurut Gus Halim, perpanjangan masa jabatan kades menjadi paling seksi dari sekian poin pembahasan. Sehingga, isu tersebut naik ke publik.

"Jadi ya biasalah yang paling seksi masa jabatan, sehingga akhirnya yang masuk ke publik ya masa jabatan ini," tutur kakak Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar ini.

Ia juga menegaskan, usulan yang berkembang terkait perpanjangan masa jabatan kades bukan selama sembilan tahun untuk tiga periode. Melainkan, usulan memperpanjang masa jabatan dari enam tahun menjadi sembilan tahun.

Kemudian, dari perpanjangan tersebut, para kades hanya diperbolehkan maju kembali untuk satu periode berikutnya. Sehingga, dalam usulan masa jabatan kades, selama dua periode adalah 18 tahun.

"Perlu masyarakat tahu bahwa usulan yang berkembang bukan sembilan kali tiga (periode). Tapi sembilan kali dua (periode)," kata Gus Halim.

"Mereka yang mewacanakan sembilan kali tiga itu sengaja agar untuk membenturkan masyarakat dan kades. Kita tidak ingin hal itu terjadi," tegasnya.

Ia juga mengungkapkan, saat ini masih menyusun hasil tinjauan untuk revisi UU Desa. Tinjauan tersebut, untuk mencakup semua pasal dalam UU Desa.

"Iya seluruhnya semua pasal, perlu disesuaikan," ucapnya.

Ia juga menegaskan, hingga saat ini, belum ada pembahasan dengan DPR, Kementerian terkait, maupun pihak istana soal revisi UU ini. (rif)

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO