Dahlan Iskan: Tabah Sampai Akhir, 53 Prajurit Kapal Selam Nanggala Bukan Manusia Biasa

Dahlan Iskan: Tabah Sampai Akhir, 53 Prajurit Kapal Selam Nanggala Bukan Manusia Biasa Dahlan iskan

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Musibah yang menimpa bukan hanya mengundang keprihatinan, tapi juga menjadi sorotan dunia internasional. Apalagi 53 yang menjadi awak kapal selam itu diperkirakan meninggal dunia semua.

Tapi bagaimana sikap 53 ketika menjelang ajal? Kenapa mereka tidak keluar dari kapal selam itu?

Silakan simak tulisan Dahlan Iskan, wartawan kondang, di Disway dan HARIAN BANGSA hari ini, Senin 26 April 2021. Di bawah ini BANGSAONLINE.com juga menurunkan tulisan penuh informasi itu. Selamat membaca:

Wira.

Ananta.

Rudira.

Semua awak kapal selam harus punya jiwa itu: tabah sampai akhir. Termasuk 53 TNI-AL yang meninggal bersama di dalam kapal selam Nanggala 402 itu.

Pun para penyelam. Mereka adalah bukan manusia biasa –seperti saya ini. Para pahlawan Nanggala itu adalah manusia khusus dengan jiwa yang sangat khusus.

Ada empat persyaratan untuk bisa disebut punya jiwa ''tabah sampai akhir'': ia harus cerdas, ia harus ulet, ia harus berani, dan satu ini yang jarang dimiliki siapa pun: ia harus tabah.

Dalam pengertian yang sebenarnya.

Maka jangan bayangkan kondisi mereka di detik-detik akhir hidup mereka seperti kita-kita ini. Terutama ketika tahu kapal selam mereka tiba-tiba ''mogok'' dan terdampar di kedalaman 800 meter.

Apakah mereka panik? Terutama ketika tahu bahwa mereka tidak bisa lagi mengirim sonar ke permukaan laut?

Apakah mereka panik ketika tahu sinyal darurat mereka tidak lagi berfungsi –lantaran hanya bisa dikirim dari kedalaman maksimum 100 meter?

Apakah mereka panik ketika tahu –berdasar perhitungan mereka yang cerdas itu-- tidak akan ada pertolongan –karena yang akan menolong tidak tahu di mana posisi kapal selam itu.

Apakah mereka panik ketika tahu oksigen di kapal selam itu hanya cukup untuk dihirup 53 orang selama tiga hari? Lalu tinggal dua hari? Tinggal 1 hari? Tinggal 12 jam? Tinggal 1 jam? Tinggal 30 menit?

Apakah mereka saling menyalahkan? Terutama kalau misalnya ada yang berbuat keliru dalam mengoperasikan kapal itu?

Apakah mereka emosi dan marah-marah? Terutama ketika mereka tahu sekian menit lagi mereka akan meninggal dunia?

Orang memang tidak tahu kapan akan meninggal. Tapi 53 orang itu tahu. Kapan, jam berapa, berapa menit lagi.

Tapi mereka bukan orang biasa seperti kita. Mereka punya watak dan kejiwaan yang luar biasa. Ditambah dengan doktrin kejuangan keprajuritan TNI-AL.

Wira Ananta Rudira.

Tabah Sampai Akhir.

Dalam doktrin itu ketenangan adalah kuncinya. Emosi dan marah hanya akan membuat oksigen cepat habis.

Saya ingat peristiwa para pemain bola junior Thailand yang terjebak dalam gua. Peristiwa itu mengajarkan banyak hal. Sampai-sampai saat ke Bangkok dulu saya perlukan berkunjung ke gua itu –di perbatasan dengan Myanmar.

Saat itu, pelatih mereka mengumpulkan para pemain di satu tempat yang tidak tergenang air di dalam gua itu. Sang pelatih mengarahkan para remaja itu untuk tetap tenang. Padahal sama sekali tidak ada makanan. Mereka hanya minum dari air yang menetes di dalam gua. Mereka dibuat yakin akan ada penolong yang datang. Yang ternyata baru bisa masuk gua di hari ketiga.

Di kapal selam itu sebaliknya. Banyak makanan dan minuman. Cukup. Tapi kemungkinan kedatangan tim penolong sangat kecil.

Mereka tahu Indonesia tidak punya kapal penolong kapal selam. Singapura punya satu buah. Malaysia punya satu buah. Demikian juga negara-negara yang punya kapal selam.

Maka komandan kapal selam itu, Heri Oktavian, letnan kolonel pelaut, menjadi penentu apa yang masih bisa dilakukan. Semua akan tunduk pada komandan.

Bayangan saya, mereka terus mengusahakan apa pun yang masih bisa diperbaiki. Sampai pun hari ketiga daya oksigen itu habis. Dengan tenang. Tanpa kepanikan. Siapa tahu detik terakhir kapal itu bisa bergerak lagi.

Bayangan saya yang lain, semua berdinas di tempat masing-masing. Terutama merawat persenjataan. Seolah mereka sedang berada di medan tempur. Mereka tahu akan meninggal. Tapi mereka juga tahu harus meninggal di medan pertempuran –bukan di tempat tidur.

Itulah jiwa.

Maka saya setuju mereka itu meninggal dalam status sedang bertempur. Kelak, kalau kapal itu ditemukan, akan diketahui di mana saja posisi 53 itu. Apakah semua di tempat tidur atau di tempat tugas masing-masing. Atau di tempat yang lain.

Mungkinkah kapal itu ditemukan?

Tentu sangat mungkin. Singapura, Malaysia dan Tiongkok sudah mengirim kapal khusus untuk mencarinya.

Kapal jenis itu tidak bisa diharapkan tiba sebelum oksigen habis. Perjalanan dari Singapura ke kawasan Bali Utara memerlukan waktu tiga hari. Itu bukan kapal cepat. Apalagi dari Hainan di Tiongkok.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO