​Pandemi, DPRD Jatim Desak Pemerintah Tunda Kenaikan Tarif Cukai Rokok Tahun 2021

​Pandemi, DPRD Jatim Desak Pemerintah Tunda Kenaikan Tarif Cukai Rokok Tahun 2021 Dari kiri: Wakil Ketua Umum Kadin Jatim Bidang Industri Wajib Cukai Sulami Bahar, Wakil Ketua PWI Jatim Lutfil Hakim, serta anggota Komisi B DPRD Propinsi Jatim Daniel Rohi.

“Saran saya kepada petani tembakau dan asosiasi perusahaan rokok untuk bersatu menaikkan bargaining, mencari win-win solution,” katanya.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Bidang Industri Wajib Cukai Kadin Jatim Sulami Bahar menegaskan bahwa saat ini, kondisi industri rokok memang sangat terpuruk karena mendapatkan berkali-kali hantaman. Di tahun 2020, lanjutnya, kenaikan terjadi sangat tinggi, mencapai 23 persen untuk kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan 35 persen untuk kenaikan Harga Jual Eceran (HJE). Sehingga produksi menurun dan berdampak apda pengurangan tenaga kerja dan rasionalisasi, berkurangnya penyerapan bahan baku tembakau dan cengkeh.

“Belum lagi bernapas, ada pandemi yang hingga saat ini belum terselesaikan. Belum lagi bernapas, ada kenaikan tarif cukai lagi. Artinya, dengan kejadian-kejadian seperti itu, kami khawatir, mau tidak mau industri akan lakukan efisiensi. mengurangi jam kerja dan tenaga kerja. Kami berharap itu tidak terjadi. Dan yang lebih bahaya lagi, nanti itu akan menyebabkan peredaran rokok ilegal semakin marak,” tambah Sulami.

Jika kenaikan tarif cukai sebesar 12,5 persen tersebut betul-betul dilaksanakan pada awal Februari 2021, ia memprediksi peredaran rokok ilegal akan mengalami kenaikan menjadi 6 persen. Padahal peredarannya di tahun 2017 hingga 2019 bisa ditekan. Pada tahun 2016, peredaran rokok ilegal mencapai 12,1 persen, di tahun 2017 turun menjadi 10,9 persen, tahun 2018 turun menjadi 7 persen, dan tahun 2019 bisa ditekan hingga 3 persen.

“Karena harga rokok semakin tidak terjangkau. Dan sebenarnya rokok mahal ini tidak akan berdampak pada pengurangan prevalensi perokok, tetapi yang ada mereka justru beralih mengonsumsi rokok lebih murah. Kalau beralihnya pada rokok golongan II dan golongan III masih bagus, tetapi kalau beralih ke rokok ilegal, itu akan berdampak pada pengurangan pendapatan negara,” tegasnya.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan bahwa akibat tingginya kenaikan cukai di tahun 2020 mengakibatkan produksi turun 2,2 persen hingga 3,3 persen. Dan angka prevalensi perokok nasional menurun dari 29,3 persen menjadi 28,8 persen. Sementara angka prevalensi perokok remaja dan anak justru tetap naik dari 8,8 persen menjadi 9,1 persen.

“Ini artinya, tujuan pemerintah untuk menekan angka perokok anak dan remaja tidak tercapai dengan menaikkan harga jual rokok. Harusnya pengendalian konsumsi rokok dilakukan melalui pendekatan edukasi dan bukan dengan menaikkan CHT dan HJE,” pungkasnya. (nf/ian)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO