Warga Coblosan Pilwali di Tengah Covid-19, Ini Langkah yang Dilakukan KPU Surabaya

Warga Coblosan Pilwali di Tengah Covid-19, Ini Langkah yang Dilakukan KPU Surabaya Nafilah Astri Swarist, Komisioner KPU Surabaya didampingi Ketua PWI Jatim Ainur Rohim dan Ketua Mappilu Jatim Machmud Suhermono di gedung PWI Jatim, Senin (26/10/2020).

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Surabaya akan berusaha maksimal melindungi warga agar tidak tertular virus corona (Covid-19), sehingga membuat klaster baru saat pemilihan wali kota dan wakil wali kota Surabaya pada 9 Desember 2020 nanti.

Demikian ditegaskan Nafilah Astri Swarist, Komisioner KPU Surabaya Divisi Perencanaan Data dan Informasi pada acara Sosialisasi Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya bekerja sama dengan PWI Jatim dengan tema Peran Media Massa dalam Menyukseskan Pilkada Serentak 2020 di gedung PWI Jatim, Jalan Taman Apsari Surabaya, Senin (26/10)

"Kami berkomitmen meminimalisir penularan Covid-19, karenanya ada tahapan-tahapan yang ketat sesuai protokol kesehatan. Kerja sama kami lakukan dengan Kepolisian untuk kampanye, dan dengan pihak Satgas Covid-19 untuk pentahapannya. Mulai pendataan, pendaftaran, pencoblosan hingga saat penghitungan suara," terang Nafilah.

Menurutnya, setiap TPS maksimal 500 pemilih, sehingga dibutuhkan 5.184 TPS untuk sebanyak 2.089.027 daftar pemilih tetap. Sosialisasi ini dilakukan KPU Surabaya bekerja sama dengan PWI Jawa Timur, diikuti para wartawan berbagai media cetak, online, dan tv.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Surabaya dan PWI Jatim menggelar sosialisasi peran media massa di Pilkada Serentak 2020 yang diadakan Desember mendatang, yang diadakan di Balai Wartawan PWI Jatim, Jalan Taman Apsari 15-17 Surabaya, Senin (26/10).

Sementara itu, Ketua PWI Jawa Timur, Ainur Rohim mengatakan, media massa harus imparsial atau netral. Hal ini juga merujuk pada berbagai aturan, yang menempatkan media sebagai bagian atau pilar demokrasi dan tidak boleh berpihak.

"Media massa harus menjadi imparsial, tidak boleh memihak. Bahasa lugasnya tidak boleh menjadi tim sukses paslon," ujar Ainur Rohim.

Dalam paparannya Air - begitu sapaan akrabnya, juga menyampaikan, betapa sulitnya media untuk bersifat adil dalam pemberitaan. Meski memberikan porsi pemberitaan yang sama, namun media tetap menempatkan berita paslon pada jam berbeda yang bisa jadi menjadi tanda ketidaknetralan media dalam proses pilkada.

"Kita sering melihat bahwa porsi pemberitaan yang sama, tapi di jam yang berbeda. Paslon yang disukai media bersangkutan beritanya dinaikkan pada prime time. Sementara paslon lainnya di jam non prime time. Ini kan bisa menjadi tanda ketidaknetralan media," lanjut wartawan senior di Surabaya itu.

Ainur Rohim juga menyebut perbedaan antara media massa dan media sosial. Jika media massa memiliki sensor internal yang berlapis, ada korektor, editor, dan pimred, maka medsos tidak memiliki tahapan itu, sehingga yang muncul lebih subyektif individu, dan bahasanya umumnya kasar. (dev/dur) 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO